Dugaan Perundungan Kembali Mencuat di Program Pendidikan Dokter Spesialis, DPR RI Angkat Bicara
Dugaan praktik perundungan di lingkungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) kembali menjadi sorotan tajam. Dalam rapat kerja antara Komisi IX DPR RI dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, terungkap dua kasus terbaru yang menambah daftar panjang permasalahan di dunia pendidikan kedokteran spesialis.
Anggota Komisi IX DPR RI, Surya Utama atau yang lebih dikenal sebagai Uya Kuya, mengungkapkan dua kasus yang dialami oleh mantan dokter PPDS. Kasus pertama menimpa Wildan Ahmad Furqon, seorang mantan dokter PPDS di Bandung yang memilih keluar dari program spesialis ortopedi akibat perlakuan tidak manusiawi yang diterimanya.
Menurut Uya Kuya, Wildan mengalami penyiksaan fisik setiap malam. Ia dipaksa berdiri dengan satu kaki selama berjam-jam, melakukan push-up, berjalan jongkok, merangkak, serta mengangkat kursi lipat. Lebih jauh lagi, Wildan juga diwajibkan membayar tagihan servis mobil senior dan bahkan biaya clubbing.
"Setiap malam harus berdiri dengan satu kaki sampai 3 jam, disuruh push up, jalan jongkok, merangkak, terus dia harus angkat kursi lipat yang ada mejanya selama 1 jam, disuruh bayarin servis mobil senior, disuruh bayarin clubbing," ungkap Uya Kuya dalam rapat tersebut.
Selama tiga semester, Wildan dilaporkan telah mengeluarkan biaya hingga mencapai Rp 500 juta. Bahkan, ia sempat dihukum menginap di rumah sakit dan mengalami pemukulan karena pulang untuk menemani istrinya yang sedang melahirkan. Uya Kuya juga menyoroti kurangnya tindak lanjut dari pihak rumah sakit dan kampus dalam menyelesaikan masalah yang dialami Wildan.
Kasus kedua yang diungkap Uya Kuya melibatkan seorang dokter PPDS Ortopedi dari UGM bernama Marcel. Dokter Marcel mengalami perlakuan serupa, termasuk "parade" setiap malam yang disertai penghakiman fisik seperti push-up, sit-up, pelemparan botol, pemukulan, dan bahkan persekusi di ruangan sempit atas perintah senior.
Tidak hanya itu, dr. Marcel juga diperintahkan untuk menyiapkan mobil setara Innova bagi para dokter spesialis, lengkap dengan makanan dan segala kebutuhan senior. Akibat tekanan yang berat, dr. Marcel akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari pendidikannya.
Uya Kuya menyayangkan terus berulangnya kasus perundungan di PPDS, terutama di tengah kebutuhan Indonesia akan dokter spesialis. Ia mempertanyakan efektivitas pendidikan yang menelan biaya ratusan juta rupiah namun berakhir sia-sia.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui adanya masalah dalam mutu pendidikan PPDS, termasuk mutu keterampilan dan etika. Ia mengakui sulitnya mengakui kekurangan dan masalah etika di lingkungan pembelajaran klinik.
Namun, Budi Gunadi Sadikin menegaskan komitmennya bersama Mendiktisaintek untuk membenahi persoalan PPDS. Ia menyatakan bahwa masalah ini telah lama dibiarkan dan akan diambil tindakan tegas terhadap pelaku perundungan.
"Dulu prosesnya lama bisa ini bisa ini, dan solidaritas kalau anaknya siapa mau ngehukum nggak enak, kalau sekarang itu semua yang terlibat, yang di Garut, yang di Undip, yang di RSHS, semua kita freeze, begitu dia terbukti salah, kita cabut, cabut artinya apa? Dia nggak bisa praktek dokter seumur hidup dia," tegasnya.
Kemenkes akan membekukan Surat Tanda Registrasi (STR) dan izin praktik bagi pelaku perundungan, serta memproses mereka secara hukum. Langkah ini diambil untuk memberikan efek jera dan mencegah kasus serupa terulang kembali. Selain itu, Kemenkes juga akan menata ulang sistem pendidikan dokter spesialis secara keseluruhan, termasuk mengatasi masalah pembayaran iuran yang tidak jelas dan praktik perundungan lainnya.