Penghapusan Outsourcing: Antara Harapan Buruh dan Realitas Investasi

Momen perayaan Hari Buruh Internasional 2025 diwarnai dengan deklarasi penting dari Presiden Prabowo Subianto mengenai penghapusan sistem outsourcing. Janji ini disambut antusias oleh ribuan buruh yang hadir di Monas, Jakarta. Sistem yang selama ini dianggap merugikan pekerja tersebut diharapkan dapat dihapus secara bertahap. Sistem outsourcing telah lama menjadi isu krusial dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Sistem ini dianggap menghilangkan kepastian kerja, mengurangi perlindungan bagi pekerja, dan menggantikan status karyawan tetap dengan kontrak kerja yang tidak jelas dan rentan terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK).

Sistem outsourcing yang berawal dari gagasan fleksibilitas ekonomi, menawarkan efisiensi biaya, kemudahan dalam perekrutan, dan pengurangan risiko industrial. Namun, praktik ini juga menimbulkan ketidakadilan dalam hubungan kerja. Pekerja outsourcing umumnya menerima upah yang lebih rendah, tanpa prospek peningkatan karir, dan seringkali kehilangan pekerjaan setelah masa kontrak berakhir. Regulasi mengenai outsourcing di Indonesia diatur dalam Pasal 66 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, yang kemudian diperbarui dalam UU Cipta Kerja dan PP 35 Tahun 2021. Peraturan ini memberikan peluang yang besar untuk penerapan sistem alih daya, bahkan pada posisi pekerjaan inti perusahaan, terutama setelah Mahkamah Konstitusi mencabut batasan jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan. Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011 sebenarnya melarang pengusaha menyerahkan pekerjaan utama kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Namun, di lapangan, banyak perusahaan menyerahkan pekerjaan penting seperti operator mesin, staf produksi, hingga petugas keamanan dan teknisi kepada pihak ketiga.

Presiden Prabowo menekankan bahwa penghapusan outsourcing tidak boleh mengganggu iklim investasi. Dalam konteks pasar kerja global, investor menginginkan fleksibilitas dan efisiensi. Sistem outsourcing dianggap sebagai cara yang efektif untuk mencapai tujuan ini. Asosiasi pengusaha seringkali bereaksi negatif terhadap wacana penghapusan outsourcing, dengan alasan dapat menurunkan daya saing, meningkatkan biaya operasional, dan menciptakan ketidakpastian hukum bagi dunia usaha. Pemerintah seringkali dihadapkan pada dilema antara menarik investasi dan melindungi hak-hak buruh. Pilihan yang diambil seringkali adalah jalan tengah yang justru membuat buruh berada dalam ketidakpastian.

Pemerintah juga berencana membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional dan Satgas PHK sebagai respons terhadap isu ketenagakerjaan. Kedua lembaga ini diharapkan dapat menjembatani komunikasi antara pemerintah dan pekerja, serta menjadi wadah dialog antara serikat buruh dan pemerintah. Namun, efektivitas lembaga-lembaga ini akan diuji oleh kemampuan mereka untuk melakukan perubahan regulasi yang nyata dan berpihak pada pekerja. Buruh telah terlalu sering menerima janji-janji tanpa realisasi. Keberhasilan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional dan Satgas PHK akan bergantung pada sejauh mana mereka dapat mempengaruhi kebijakan dan memberikan manfaat konkret bagi pekerja.

Untuk menghapus sistem outsourcing secara efektif, pemerintah perlu menyiapkan masa transisi yang adil. Transisi ini harus mempertimbangkan dampaknya terhadap pekerja dan perusahaan. Pemerintah perlu menyusun roadmap yang jelas mengenai penghapusan outsourcing, termasuk batas waktu, jenis pekerjaan yang akan dihentikan alih dayanya, dan mekanisme transformasi hubungan kerja. Roadmap ini harus disusun dengan pendekatan sektoral, karena setiap sektor industri memiliki dinamika yang berbeda. Tanpa persiapan yang matang, penghapusan outsourcing dapat menyebabkan gelombang PHK massal. Ribuan buruh yang berkumpul di Monas berharap agar janji penghapusan outsourcing dapat direalisasikan. Mereka ingin melihat tindakan nyata dari pemerintah, bukan hanya sekadar janji-janji kosong. Dalam dunia kerja, hak-hak pekerja harus dijamin melalui regulasi yang jelas dan implementasi yang efektif. Janji Presiden Prabowo menjadi momentum penting untuk memperbaiki sistem ketenagakerjaan di Indonesia. Namun, tanpa tindakan yang konkret, janji tersebut hanya akan menjadi catatan sejarah dalam peringatan Hari Buruh yang terus berulang. Sistem outsourcing mencerminkan bagaimana negara memandang tenaga kerja. Penghapusan sistem ini membutuhkan perubahan paradigma dalam hubungan kerja yang lebih manusiawi dan berkeadilan.