Asia Selatan Bergejolak dalam Cengkeraman Gelombang Panas Ekstrem yang Semakin Intensif Akibat Perubahan Iklim
Asia Selatan tengah menghadapi tantangan serius akibat gelombang panas ekstrem yang datang lebih awal dan dengan intensitas yang mengkhawatirkan. Fenomena ini memicu kekhawatiran mendalam tentang dampak perubahan iklim dan pemanasan global, terutama di wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi.
Secara tradisional, gelombang panas di Asia Selatan biasanya mulai meningkat pada bulan Mei dan mencapai puncaknya pada bulan Juni sebelum mereda seiring datangnya musim hujan. Namun, tahun ini, situasi menunjukkan perubahan yang signifikan.
"Asia Selatan saat ini mengalami transisi yang sangat cepat dari musim semi ke suhu panas ekstrem," ungkap GP Sharma dari Skymet, sebuah lembaga prakiraan cuaca di India. Pernyataan ini menggarisbawahi perubahan pola cuaca yang tidak menentu dan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari.
Dampak krisis iklim semakin terasa dengan terbatasnya akses terhadap alat pendingin, layanan kesehatan, dan air bersih bagi sekitar 1,9 miliar penduduk di wilayah tersebut. Kondisi ini menciptakan kerentanan yang tinggi terhadap dampak buruk gelombang panas.
Di Delhi, ibu kota India, suhu telah mencapai 40 derajat Celsius pada bulan April, yang merupakan lima derajat lebih tinggi dari rata-rata musiman. ClimaMeter, sebuah platform pemantau cuaca ekstrem, mengaitkan kondisi ini secara langsung dengan pemanasan global akibat aktivitas manusia.
Gianmarco Mengaldo, seorang ahli iklim dari National University of Singapore, menekankan bahwa gelombang panas ini bukanlah sekadar anomali, melainkan sebuah sinyal peringatan yang jelas. Ia mendesak masyarakat dan pemerintah untuk segera mengambil tindakan guna mengatasi masalah ini.
Pemerintah Delhi telah mengambil langkah-langkah darurat seperti menghentikan kegiatan belajar sore di sekolah, menyediakan air minum dan larutan rehidrasi oral, serta menyiagakan petugas medis untuk menangani kasus stres panas.
Di Jaipur, ibu kota negara bagian Rajasthan, suhu mencapai 44 derajat Celsius, yang menyebabkan peningkatan laporan serangan panas, terutama pada pekerja konstruksi dan petani.
Badan Meteorologi India mencatat bahwa jumlah hari dengan suhu ekstrem tahun ini telah melampaui rata-rata, dan suhu diperkirakan akan terus meningkat hingga pertengahan minggu depan.
Pakistan juga mengalami suhu ekstrem. Di Shaheed Benazirabad, Provinsi Sindh, suhu mencapai 50 derajat Celsius, sekitar 8,5 derajat lebih tinggi dari rata-rata bulan April. Wilayah lain juga mencatat suhu di kisaran 40 derajat Celsius.
Harian Dawn di Pakistan melaporkan bahwa gelombang panas ekstrem yang sebelumnya jarang terjadi kini semakin sering terjadi akibat perubahan iklim. Namun, baik India maupun Pakistan dinilai belum cukup siap menghadapi krisis iklim yang semakin parah.
Perbandingan data suhu antara periode 1950–1986 dan 1987–2023 menunjukkan bahwa kota-kota besar seperti Delhi dan Islamabad kini lebih panas hingga 3 derajat Celsius dibandingkan wilayah pedesaan, diperparah oleh efek panas perkotaan (urban heat).
Mengaldo menegaskan bahwa fokus perdebatan seharusnya bukan lagi pada penyebab gelombang panas, melainkan pada seberapa parah ambang suhu ekstrem yang telah terlampaui. Ia juga memperingatkan bahwa infrastruktur saat ini belum mampu mengantisipasi dampaknya.
Saat ini, siklus El Niño berada dalam fase netral. Menurut ClimaMeter, suhu cuaca serupa kini bisa 4 derajat Celsius lebih panas dibandingkan masa sebelum 1986, sebagian besar akibat aktivitas manusia.
Tidak hanya Asia Selatan, wilayah Timur Tengah juga mencatat suhu musim semi yang mengancam kelangsungan hidup manusia. Musim panas di Spanyol dan Prancis juga diperkirakan akan memecahkan rekor suhu dalam waktu dekat.
"Kita sebelumnya memperkirakan kejadian seperti ini baru terjadi pada 2050 atau 2070. Ternyata, semuanya datang lebih cepat. Model prediksi kita gagal menangkap percepatan ini," kata Mengaldo.
David Faranda, ilmuwan senior dari Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Prancis, menekankan bahwa solusi jangka panjang hanya dapat dicapai dengan menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan memangkas emisi karbon secara besar-besaran.
Jika tidak, dunia akan menghadapi konsekuensi iklim yang mengerikan. Faranda juga menyoroti pentingnya adaptasi iklim melalui isolasi bangunan yang baik, penggunaan energi hijau, dan desain yang mendukung pendinginan alami.
Bahkan jika upaya mitigasi dilakukan sekarang, sistem iklim tetap membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk kembali stabil.
"Kenaikan permukaan laut, misalnya, akan terus terjadi selama ratusan tahun mendatang," ujarnya.
Faranda dan Mengaldo sepakat bahwa ketimpangan ekonomi dan lemahnya infrastruktur menjadi faktor penentu siapa yang dapat bertahan di tengah cuaca ekstrem. Mereka yang tidak memiliki akses pada alat pendingin atau air bersih berada dalam risiko terbesar.
Delhi kini memperbarui rencana aksi menghadapi panas ekstrem, dengan fokus pada kelompok rentan seperti lansia, buruh lapangan, dan pedagang kaki lima. Namun, pelaksanaan di lapangan masih belum merata.
Faranda menambahkan bahwa adaptasi semakin sulit dijangkau oleh negara-negara berkembang yang rentan terhadap suhu ekstrem, terutama dengan masalah pasokan listrik yang tidak stabil.
"Kita membutuhkan rumah-rumah yang lebih terisolasi, material bangunan yang efisien dalam menjaga suhu, dan desain arsitektur yang mendukung pendinginan alami," ujar Mengaldo.
Menurut Faranda, transisi energi juga harus dibarengi dengan perubahan gaya hidup. Selain memperluas pemanfaatan energi terbarukan, masyarakat harus mengurangi konsumsi energi melalui arsitektur hemat energi dan kebiasaan baru yang lebih berkelanjutan.