Penghapusan Outsourcing di Indonesia: Antara Harapan Pekerja dan Kekhawatiran Investor
Dilema Outsourcing: Menakar Ulang Keseimbangan Kepentingan Pekerja dan Investasi
Rencana penghapusan sistem outsourcing (alih daya) yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto pada peringatan Hari Buruh 1 Mei 2025 lalu, sontak memicu gelombang reaksi. Bagi jutaan pekerja di Indonesia, wacana ini bagaikan secercah harapan setelah sekian lama terombang-ambing dalam ketidakpastian kerja. Namun, di sisi lain, para pelaku bisnis dan investor, baik domestik maupun asing, tentu memiliki pandangan yang berbeda.
Penghapusan outsourcing menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintahan baru. Mampukah pemerintah mengakomodasi kepentingan pekerja tanpa mengorbankan iklim investasi? Ataukah kedua belah pihak akan terus berkutat pada dikotomi semu antara kesejahteraan pekerja dan pertumbuhan ekonomi? Isu ini menuntut solusi yang komprehensif dan berkeadilan.
Outsourcing: Efisiensi atau Eksploitasi?
Sistem outsourcing mulai diterapkan secara luas di Indonesia melalui UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 dan diperkuat oleh Omnibus Law Cipta Kerja. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi tenaga kerja, terutama di sektor-sektor padat karya dan jasa. Namun, dalam praktiknya, outsourcing seringkali justru merugikan pekerja.
Banyak pekerja outsourcing yang menerima upah lebih rendah dibandingkan pekerja tetap, tanpa adanya jaminan kerja jangka panjang dan perlindungan sosial yang memadai. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 31% pekerja di sektor swasta bekerja dengan status tidak tetap, dan sekitar 62% di antaranya terlibat dalam sistem outsourcing.
Survei BPS tentang "Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Sosial" juga mengungkap fakta yang memprihatinkan. Hanya 18,7% pekerja outsourcing yang memiliki jaminan pensiun, dan hanya 23,5% yang terdaftar dalam program jaminan kesehatan nasional (JKN). Bagi banyak pekerja, outsourcing identik dengan ketidakpastian, upah rendah, dan minimnya kesempatan untuk mengembangkan karir.
Rencana penghapusan outsourcing menawarkan harapan baru bagi para pekerja. Mereka berharap dapat memperoleh kembali martabat kerja, perlindungan sosial yang lebih baik, dan kesempatan untuk menjadi bagian dari hubungan kerja permanen yang lebih bermartabat. Namun, transisi menuju sistem yang baru juga mengandung risiko. Jika dilakukan tanpa persiapan yang matang, penghapusan outsourcing dapat menyebabkan gelombang PHK massal karena perusahaan enggan mengangkat pekerja outsourcing menjadi karyawan tetap. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyiapkan skema transisi dan program pelatihan ulang agar para pekerja tetap relevan di pasar kerja.
Dampak bagi Investor
Bagi para investor, fleksibilitas dalam pengelolaan sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor penting dalam perhitungan biaya dan risiko. Data Kementerian Investasi/BKPM menunjukkan bahwa sekitar 42% total investasi asing langsung (FDI) di sektor manufaktur dan jasa mengandalkan sistem outsourcing untuk menekan biaya tenaga kerja.
Jika sistem outsourcing dihapus tanpa perencanaan yang matang, para investor dapat memilih untuk mengalihkan investasi mereka ke negara lain yang menawarkan fleksibilitas yang lebih tinggi, seperti Vietnam atau Filipina. Selain itu, investor juga khawatir terhadap potensi peningkatan biaya tetap, rigiditas hukum ketenagakerjaan, dan potensi konflik industrial yang dapat mengganggu stabilitas bisnis.
Di sinilah peran pemerintah sangat krusial. Pemerintah harus mampu menjadi penengah yang adil antara kepentingan pekerja dan kepentingan investor. Pemerintah perlu memastikan bahwa perlindungan pekerja ditingkatkan tanpa menciptakan efek domino berupa penurunan investasi, peningkatan pengangguran, atau deindustrialisasi.
Dari perspektif fiskal, penguatan sistem kerja formal berpotensi meningkatkan penerimaan negara dari iuran jaminan sosial, pajak penghasilan, dan konsumsi pekerja. Namun, transisi yang terburu-buru dapat berakibat sebaliknya: meningkatkan angka pengangguran terbuka (yang pada Februari 2025 telah mencapai 5,45%) dan menambah jumlah pekerja di sektor informal (yang saat ini mencapai 60,23 juta orang, atau 41,3% dari total tenaga kerja nasional).
Mencari Jalan Tengah
Menghapus outsourcing bukan sekadar menghilangkan sebuah sistem, melainkan mereformasinya. Pemerintah perlu merumuskan kebijakan transisi yang adil dan adaptif. Beberapa alternatif yang dapat dipertimbangkan antara lain:
- Penerapan standar outsourcing berbasis prinsip kerja yang adil, termasuk transparansi kontrak, standar upah minimum sektoral, dan jaminan sosial.
- Membatasi outsourcing hanya pada pekerjaan non-inti, sebagaimana semangat awal regulasi, sambil memperketat pengawasan.
- Membangun sistem sertifikasi dan akreditasi perusahaan outsourcing untuk memastikan praktik ketenagakerjaan yang berkeadilan.
- Meningkatkan daya saing tenaga kerja nasional melalui pelatihan vokasi dan teknologi, sehingga produktivitas menjadi nilai jual utama, bukan lagi fleksibilitas upah.
Langkah-langkah ini memungkinkan terciptanya solusi win-win bagi pekerja, pengusaha, dan negara.
Visi Indonesia Emas 2045 mensyaratkan transformasi relasi industrial menjadi hubungan kemitraan yang bermartabat. Negara-negara seperti Jerman dan Korea Selatan telah membuktikan bahwa perlindungan pekerja dan efisiensi usaha bukanlah hal yang saling meniadakan, melainkan saling menguatkan bila dikelola dengan sistem dan strategi yang tepat.
Pernyataan Presiden Prabowo perlu diterjemahkan menjadi kebijakan yang berdialog, transformatif, dan terukur. Bukan penghapusan total yang reaktif, melainkan reformasi mendalam yang inklusif. Alih-alih terjebak dalam dikotomi buruh dan investor, Indonesia memiliki peluang langka untuk menata ulang lanskap ketenagakerjaan menuju keadilan yang kompetitif.
Reformasi outsourcing yang bijak bukanlah akhir dari fleksibilitas ekonomi, melainkan awal dari ekosistem kerja yang lebih beradab, berdaya saing, dan berkeadilan. Inilah momentum untuk membuktikan bahwa keadilan sosial dan kemajuan ekonomi dapat berjalan beriringan demi Indonesia yang tidak hanya tumbuh, tetapi juga tumbuh bersama—untuk semua.