Sindikat Pemalsuan Identitas di Riau Terbongkar, Pemilik Biro Jasa Gunakan Dua NIK Berbeda

Aparat kepolisian Daerah Riau berhasil mengungkap praktik penerbitan dokumen kependudukan palsu yang beroperasi dengan kedok biro jasa di wilayah Bengkalis. Pengungkapan ini menyeret pemilik biro jasa tersebut, berinisial RWY, sebagai tersangka utama yang kedapatan memiliki dua identitas kependudukan yang berbeda.

Praktik ilegal ini terendus setelah RWY aktif mempromosikan layanan "Biro Jasa Sultan" melalui platform media sosial Facebook. Biro jasa ini menawarkan pembuatan berbagai dokumen penting, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), akta kelahiran, buku nikah, paspor, hingga surat keterangan pindah, dengan mengenakan tarif tertentu.

"Dari hasil penyelidikan, terungkap bahwa akun Facebook 'Biro Jasa Sultan' ini dikelola oleh tersangka RWY, yang secara mengejutkan memiliki dua KTP resmi dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang berbeda," ungkap Kombes Ade Kuncoro. Kejanggalan ini menjadi sorotan, mengingat sistem kependudukan di Indonesia menganut prinsip single identity, di mana setiap warga negara hanya diperbolehkan memiliki satu NIK yang sah.

Selain itu, polisi juga menemukan bahwa biro jasa yang dijalankan oleh RWY tidak memiliki izin operasional yang sah alias ilegal. Fakta ini semakin memperkuat dugaan adanya praktik pelanggaran hukum yang sistematis dan terstruktur.

Dalam pengembangan kasus ini, polisi juga mengamankan seorang oknum honorer yang bertugas di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kecamatan Pinggir. Oknum tersebut, berinisial SHP, ditangkap saat sedang melakukan proses penerbitan dua NIK dan satu Surat Keterangan Pindah (SKP) palsu di kantornya. Dari tangan SHP, petugas menyita sejumlah barang bukti, termasuk komputer, printer, telepon seluler, serta dokumen-dokumen penting lainnya.

Selain RWY dan SHP, polisi juga menetapkan tiga tersangka lain dalam kasus ini, yakni FHS, RW, dan SP. Keempat tersangka kini telah diamankan dan dijerat dengan berbagai pasal berlapis, termasuk Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman hukuman yang menanti para tersangka adalah pidana penjara maksimal 12 tahun dan denda hingga Rp 12 miliar.