Penilaian Mendalam Diperlukan Sebelum Siswa Bermasalah Ditempatkan di Pembinaan Militer

Program pembinaan karakter dengan pendekatan militer yang diterapkan pada siswa bermasalah menuai sorotan. Pengamat pendidikan menekankan pentingnya asesmen komprehensif sebelum siswa diikutsertakan dalam program semacam itu. Menurutnya, solusi untuk kenakalan remaja tidak bisa disamaratakan dengan militerisasi.

Doni Koesoema, seorang pengamat pendidikan, menyampaikan bahwa program pembinaan karakter berbasis militer harus didasari oleh riset yang kuat dan tujuan yang jelas. Ia menekankan bahwa sebelum program dijalankan, perlu dilakukan asesmen mendalam untuk memahami akar permasalahan yang dihadapi masing-masing siswa.

"Tujuan program harus jelas. Jika hanya pembinaan singkat, harus ada proses yang benar, diawali dengan asesmen," ujar Doni.

Ia menjelaskan bahwa penyebab kenakalan pada anak sangat beragam, sehingga solusi yang diterapkan tidak bisa pukul rata dengan pendekatan militer. Program yang tidak terarah justru berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi psikologis siswa.

Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Purwakarta telah melaksanakan program pembinaan di Markas Resimen Artileri Medan 1 Sthira Yudha, Batalyon Armed 9, Purwakarta. Program ini diikuti oleh puluhan siswa SMP yang dianggap sulit dikendalikan di sekolah maupun di rumah. Melalui program ini, diharapkan siswa dapat mengembangkan disiplin, tanggung jawab, dan akhlak yang baik.

Namun, Doni mengkritisi pendekatan militer yang digunakan dalam program tersebut. Ia khawatir pendekatan ini justru akan menstigmatisasi siswa dan memperburuk kondisi psikologis mereka.

"Setelah kembali ke sekolah, mereka akan dicap dan berpotensi dikucilkan. Belum lagi dampak psikologis jangka panjang jika tidak ada pendampingan," jelasnya.

Doni juga mempertanyakan asumsi yang mendasari program ini, yaitu bahwa anak-anak tersebut sudah tidak dapat dibina oleh orang tua atau sekolah, sehingga diserahkan ke militer. Menurutnya, hal ini merupakan pendekatan pendidikan yang keliru. Ia menekankan bahwa jika anak melakukan tindak kriminal, maka itu menjadi ranah hukum. Namun, jika hanya membolos, malas, atau membuat onar, maka itu masih menjadi ranah pendidikan.

"Sekolah dan orang tua seharusnya berperan, bukan langsung menyerahkan ke barak," tegasnya.

Dalam pelaksanaannya, Pemkab Purwakarta menyatakan bahwa kegiatan pembinaan tetap akan disertai dengan proses belajar mengajar di barak, dengan melibatkan guru. Namun, Doni mengingatkan bahwa hak anak untuk menyatakan pendapatnya harus tetap dihormati. Ia menekankan perlunya psikolog independen untuk menilai kondisi setiap anak secara objektif.

"Jika orang tua setuju, apakah otomatis anak juga harus setuju? Jika anak tidak diberi ruang bicara atau dipaksa, itu pelanggaran hak anak," jelasnya.

Doni menegaskan bahwa perubahan karakter tidak dapat dicapai secara instan melalui pelatihan militer singkat. Menurutnya, sikap baik anak dapat terbentuk dari pendidikan yang konsisten dalam keseharian.

"Perubahan sikap dan perilaku itu dibentuk dari keseharian yang konsisten, bukan dari dua minggu di barak. Lebih baik memperkuat disiplin di sekolah dengan pendekatan yang edukatif dan tegas," pungkasnya.