Perjuangan Kakek Masri: Menafkahi Keluarga dengan Berjualan Telur Puyuh di Denpasar

Di tengah hiruk pikuk Kota Denpasar, seorang pria renta bernama Masri, berusia 78 tahun, terlihat gigih menjajakan telur puyuh. Setiap hari, ia menyusuri jalanan dan gang-gang sempit, menawarkan dagangannya kepada siapa saja yang ia temui.

Masri memulai harinya jauh sebelum fajar menyingsing. Pukul 03.00 WITA, ia sudah sibuk menyiapkan dagangannya di sebuah kamar kos sederhana. Telur-telur puyuh yang dibelinya dari Pasar Badung direbusnya selama dua jam. Setelah dingin, telur-telur itu dikemas dalam plastik kecil, setiap bungkus berisi sembilan telur dan dijual seharga Rp 10.000.

Dengan membawa sekitar 50 bungkus telur puyuh, Masri mulai berkeliling dari pukul 07.00 WITA hingga pukul 21.00 WITA. Di bawah terik matahari dan debu jalanan, ia terus berjalan, menawarkan dagangannya dengan harapan bisa menghidupi diri sendiri dan membantu keluarganya di Lombok.

"Sudah lama saya melakukan pekerjaan ini, sejak tahun 2002. Ya, beginilah pekerjaan saya. Tidur hanya dua atau tiga jam, sudah terbiasa," ujar Masri dengan nada bicara yang tenang.

Meski usianya sudah senja, semangat Masri tak pernah pudar. Ia selalu bersyukur atas rezeki yang diberikan Tuhan. Terkadang, semua dagangannya habis terjual, namun tak jarang pula masih tersisa. Meski begitu, ia tetap bisa mengantongi sekitar Rp 200 ribu setiap harinya.

Jika hari sudah larut dan telur puyuh masih tersisa, Masri tak segan untuk memberikannya kepada pedagang lain di pasar. Ia percaya bahwa rezeki tak akan pernah tertukar.

"Saya kasih saja ke teman-teman. Mereka bisa bayar kapan saja, besok atau kapan pun mereka punya uang," kata Masri sambil tersenyum.

Selama 23 tahun berjualan telur puyuh, Masri tak memiliki pelanggan tetap. Ia harus terus berjalan dan mencari pembeli setiap harinya. Namun, ia selalu bersyukur karena dagangannya tetap laku dan ia diberikan kesehatan untuk terus bekerja.

Masri lahir di Lombok dan seluruh keluarganya tinggal di sana. Ia memiliki sembilan cucu dan berharap bisa menyekolahkan mereka hingga perguruan tinggi. Ia ingin memberikan pendidikan yang lebih baik kepada cucu-cucunya, karena anak-anaknya hanya bisa menjadi petani.

"Cucu saya sekarang sudah SMA. Saya berharap mereka bisa kuliah, karena anak-anak saya pendidikannya tidak tinggi, mereka jadi petani di sana," tuturnya.

Masri pernah bekerja selama 11 tahun di perkebunan sawit di Malaysia. Namun, ia lebih memilih untuk berjualan telur puyuh di Bali karena merasa aman dan nyaman. Ia juga merasa bahwa pekerjaan ini halal dan tidak memberatkannya.

"Saya tetap akan tinggal di Bali karena di sini saya aman dan jualan begini tidak ada beban, halal. Tengah malam jalan tidak apa. Kalau tersesat, pasti ada yang mau antar," imbuhnya.

Masri bertekad untuk terus berjualan telur puyuh hingga ia tak mampu lagi berjalan. Ia merasa bahagia karena bisa membantu keluarganya di kampung halaman dan menyekolahkan cucu-cucunya. Uang hasil jualannya biasanya dititipkan kepada teman yang akan pulang ke Lombok.

Kisah Masri adalah contoh nyata dari kegigihan dan kerja keras seorang kakek yang berjuang untuk menghidupi keluarganya. Ia adalah inspirasi bagi kita semua untuk tidak mudah menyerah dalam menghadapi tantangan hidup.