Kontroversi Program Pembinaan Siswa 'Nakal' Berbasis Militer: Antara Disiplin dan Hak Anak

Program Pembinaan Siswa Bermasalah Berbasis Militer Menuai Perdebatan

Program pembinaan karakter yang melibatkan unsur militer bagi siswa yang dianggap bermasalah atau "nakal" tengah menjadi sorotan. Inisiatif yang digagas oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat ini bekerja sama dengan TNI AD dalam menempatkan siswa-siswa tertentu di barak militer yang berlokasi di Purwakarta dan Bandung.

Pengamat pendidikan, Doni Koesoema, menekankan pentingnya menghormati hak anak untuk berpendapat, bahkan dalam konteks program pembinaan yang berorientasi pada disiplin militer. Menurutnya, suara anak-anak harus didengarkan dan dipertimbangkan. Memaksakan program ini pada anak yang tidak setuju dapat dianggap sebagai pelanggaran hak anak. Beliau juga menyoroti kemungkinan adanya tekanan dari orang tua yang membuat anak terpaksa menyetujui program tersebut.

Doni Koesoema juga menyoroti perlunya dasar yang kuat dan evaluasi efektivitas yang komprehensif sebelum program ini dijalankan. Ia menekankan pentingnya asesmen yang melibatkan psikolog independen untuk menilai kondisi setiap anak secara objektif. Tujuan program harus jelas dan terukur, dan proses pembinaan yang singkat, seperti dua minggu, harus didahului dengan asesmen yang mendalam.

Perubahan karakter, menurut Doni, tidak dapat dicapai secara instan melalui pelatihan militer singkat. Sikap positif dan perilaku yang baik terbentuk melalui pendidikan yang konsisten dalam lingkungan sehari-hari. Ia berpendapat bahwa penyebab kenakalan anak beragam dan tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan militeristik yang seragam. Lebih efektif memperkuat disiplin di sekolah dengan pendekatan edukatif dan tegas.

Penyerahan Anak oleh Orang Tua: Sukarela atau Terpaksa?

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengklaim bahwa program ini dilaksanakan tanpa unsur paksaan. Ia menyatakan bahwa orang tua secara sukarela menyerahkan anak-anak mereka kepada Dinas Pendidikan untuk kemudian dikirim ke barak militer.

Sebelumnya, puluhan siswa SMP mengikuti kegiatan baris-berbaris di Markas Resimen Artileri Medan 1 Sthira Yudha, Batalyon Armed 9, di Purwakarta sebagai bagian dari program pembinaan. Pemerintah daerah menyediakan kendaraan untuk mengangkut 39 dari 40 siswa yang terdaftar. Program ini menyasar siswa yang dianggap sulit dikendalikan di sekolah maupun di rumah, dengan harapan pendekatan militer dapat menanamkan disiplin, tanggung jawab, dan akhlak yang baik.

Dedi Mulyadi menegaskan bahwa orang tua yang merasa tidak mampu lagi membina anak-anak mereka menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada pemerintah daerah dan unsur TNI-Polri. Penyerahan ini dilakukan melalui surat keterangan bermaterai, yang menjadi dasar hukum bagi pemerintah daerah dan TNI-Polri untuk mengelola dan mendidik anak-anak tersebut.

Terlepas dari klaim kesukarelaan, pertanyaan tentang kebebasan memilih bagi anak dan potensi tekanan dari orang tua tetap menjadi isu krusial dalam program pembinaan ini. Efektivitas jangka panjang dari pendekatan militer dalam membentuk karakter siswa juga menjadi perdebatan di kalangan pengamat pendidikan.