SMA KTB Ajak Orang Tua Jadi Garda Terdepan Pendidikan Karakter di Era Disrupsi
SMA KTB Ajak Orang Tua Jadi Garda Terdepan Pendidikan Karakter di Era Disrupsi
Memperingati Hari Pendidikan Nasional 2025, SMA Kemala Taruna Bhayangkara (KTB) menekankan pentingnya sinergi antara sekolah dan keluarga dalam membentuk karakter siswa. Sebagai langkah konkret, SMA KTB menerapkan wawancara khusus bagi orang tua calon siswa.
"Kami meyakini bahwa pendidikan karakter tidak bisa hanya dibebankan kepada sekolah. Lingkungan rumah, nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga, memiliki peran krusial," ujar Komjen Dedi Prasetyo, Ketua Yayasan Kemala Taruna Bhayangkara, saat memberikan keterangan pada Jumat (2/5/2025).
Menurutnya, wawancara orang tua bukan sekadar formalitas, melainkan upaya untuk memastikan adanya keselarasan visi antara sekolah dan keluarga dalam mendidik anak. Pihak sekolah ingin memastikan bahwa orang tua tidak hanya menjadi penonton, tetapi mitra aktif dalam proses tumbuh kembang anak.
Komjen Dedi mengutip berbagai riset yang menunjukkan dampak positif keterlibatan aktif orang tua dalam pendidikan. Keterlibatan tersebut, terutama melalui dialog dan komunikasi yang intens, terbukti meningkatkan pemahaman lintas budaya, keadilan, dan prestasi akademik siswa.
"Sekolah adalah tempat belajar, bukan sekadar tempat penitipan anak. Pendidikan karakter tumbuh melalui teladan sehari-hari, bukan sekadar melalui latihan soal," tegasnya.
Di tengah maraknya isu kecurangan dalam Ujian Tertulis Berbasis Komputer (UTBK), Komjen Dedi mengajak orang tua untuk merenungkan kembali kualitas pendidikan yang ingin diwariskan kepada anak-anak mereka.
"Pendidikan sejati dimulai dari nilai-nilai yang ditanamkan di rumah, dari diskusi yang bermakna, dari rasa aman yang diberikan, dan dari keberanian untuk mengakui kesalahan. Masa depan bangsa ditentukan oleh karakter anak-anak yang kita besarkan, bukan semata-mata oleh hasil ujian," imbuhnya.
Devie Rahmawati, Wakil Ketua Yayasan Pendidikan Kader Bangsa Indonesia (YPKBI), menyoroti fenomena disrupsi dalam pola asuh modern. Menurutnya, obsesi terhadap prestasi akademik seringkali mengalahkan penanaman nilai-nilai karakter dan kejujuran.
"Orang tua modern terlalu fokus pada hasil, ranking, dan seleksi masuk perguruan tinggi, hingga melupakan esensi pendidikan sejati, yaitu pembentukan karakter dan kejujuran. Anak-anak didorong untuk menang, bukan untuk menjadi benar. Mereka diajarkan untuk cerdas, bukan untuk jujur," ungkap Devie.
Devie berharap Hari Pendidikan Nasional menjadi momentum untuk merefleksikan arah moral pendidikan bangsa. Maraknya kasus kecurangan dalam UTBK, menurutnya, adalah indikasi adanya krisis moral dalam sistem pendidikan.
"Di tengah sistem pengamanan digital yang canggih, kecurangan masih saja terjadi, bahkan melibatkan orang tua. Ini adalah gempa moral yang mengguncang fondasi pengasuhan kita," tegasnya.
Ia mengutip penelitian yang menunjukkan adanya korelasi antara pola asuh permisif dengan perilaku tidak jujur pada remaja. Studi lain juga mengungkap bahwa sebagian besar orang tua di Amerika Serikat membesarkan anak-anak mereka dengan ambisi, kecepatan, dan pencitraan, menggantikan nilai-nilai tradisional seperti kerja keras dan kejujuran.
"Anak-anak belajar kebohongan pertama bukan dari media sosial atau teman sebaya, melainkan dari orang tua. Kita bukan hanya mengalihkan waktu kita sebagai orang tua, tetapi juga mengalihkan empati, nilai, dan tanggung jawab," pungkas Devie, mengutip riset tentang outsourcing pengasuhan.