Bandung di Ambang Krisis Sampah: Tantangan Sistemik dan Upaya Menuju Pengelolaan Berkelanjutan
Kota Bandung kembali menghadapi persoalan pelik terkait pengelolaan sampah. Situasi ini memicu status 'darurat sampah' yang bukan kali pertama terjadi dalam dua dekade terakhir. Kondisi ini mengindikasikan adanya permasalahan sistemik yang mendalam dalam penanganan limbah di kota berjuluk Paris van Java ini.
Persoalan sampah di Bandung diperparah oleh laju urbanisasi, perubahan gaya hidup masyarakat, serta peningkatan konsumsi yang menghasilkan lebih banyak sampah. Data menunjukkan bahwa mayoritas sampah yang dihasilkan adalah sampah organik, terutama sisa makanan. Timbunan sampah organik ini, jika tidak dikelola dengan baik, akan menghasilkan gas metana yang berkontribusi pada efek rumah kaca dan perubahan iklim.
Wali Kota Bandung, M. Farhan, menargetkan peningkatan jumlah Rukun Warga (RW) yang bebas sampah sebagai salah satu solusi. Dari 1.560 RW, baru sebagian kecil yang berhasil mengelola sampah secara mandiri. Target ambisius ditetapkan untuk mencapai 1.000 RW bebas sampah pada akhir 2025, dan seluruh wilayah kota pada 2026. Namun, target ini membutuhkan upaya yang lebih terstruktur dan melibatkan seluruh elemen masyarakat.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mencanangkan Gerakan Gaya Hidup Sadar Sampah dan mengeluarkan Surat Edaran terkait pengelolaan sampah. Surat Edaran tersebut menekankan pentingnya penanganan sampah dari sumbernya, terutama sampah organik. Hal ini sejalan dengan prinsip zero organic waste yang menekankan minimalisasi, pemulihan, dan pengolahan sampah, serta pengurangan pembuangan ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) atau insinerator.
Strategi Pengelolaan Sampah Organik yang Potensial:
- Pengomposan: Proses alami penguraian bahan organik oleh mikroorganisme menjadi kompos yang kaya nutrisi.
- Vermikompos: Pengomposan menggunakan cacing untuk mempercepat proses dekomposisi.
- Pencernaan Serangga dan Larva: Pemanfaatan larva black soldier fly untuk mengonversi sampah organik menjadi protein.
Selain itu, edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang pengelolaan sampah yang berkelanjutan menjadi kunci. Pemerintah perlu mengedukasi masyarakat tentang cara memilah sampah, mengurangi produksi sampah, dan memanfaatkan sampah organik menjadi sumber daya yang bermanfaat.
Beberapa kota di dunia telah menerapkan berbagai kebijakan untuk mengurangi volume sampah yang dikirim ke TPA dan meningkatkan daur ulang. Bandung dapat belajar dari pengalaman tersebut dan menerapkan strategi yang sesuai dengan kondisi lokal.
Pegiat lingkungan menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mengatur sistem pemilahan sampah. Pemerintah perlu menetapkan batasan volume sampah yang boleh dikirim ke TPA, serta mendorong inovasi dalam pengolahan sampah organik. Data menunjukkan bahwa ribuan ton sampah masih tertahan di Bandung akibat pengurangan kiriman ke TPA Sarimukti, sehingga penanganan sampah organik menjadi prioritas utama.
Untuk mewujudkan Bandung yang bersih dan layak huni, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Dengan pendekatan yang inovatif dan berkelanjutan, Bandung dapat mengatasi krisis sampah dan menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan nyaman bagi seluruh warganya. Kesadaran kelola sampah di tingkat rumah tangga adalah fondasi utama menuju perubahan yang signifikan. Tidak ada solusi instan, namun dengan komitmen dan kerja keras, Bandung dapat mencapai target zero waste dan menjadi contoh bagi kota-kota lain di Indonesia.