Program Pembinaan Siswa di Barak Militer Jabar Tuai Kritik: Landasan Hukum Dipertanyakan
Program pembinaan siswa bermasalah yang diselenggarakan di barak militer di Jawa Barat menuai sorotan tajam dari kalangan pemerhati pendidikan. Landasan hukum program ini dipertanyakan, mengingat kewenangan pendidikan secara eksklusif berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama.
Pemerhati pendidikan, Retno Listyarti, menegaskan bahwa tidak ada dasar hukum yang membenarkan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penyelenggaraan pendidikan formal. Menurutnya, kebijakan memasukkan siswa ke barak militer selama 6 hingga 12 bulan, tanpa mengganggu status akademis mereka, menimbulkan sejumlah permasalahan krusial.
"Peraturan perundangan apa yang menjadi dasar hukum memasukkan anak-anak 'nakal' ke barak? Bagaimana dengan hak-hak akademik mereka? Jika mereka tidak mendapatkan nilai di kelas 11, bagaimana mereka bisa melanjutkan ke kelas 12?" tanya Retno, yang juga merupakan mantan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Retno menjelaskan bahwa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tidak memberikan ruang bagi penggunaan barak militer sebagai lembaga pembinaan bagi siswa. Ia juga mengingatkan bahwa Undang-Undang Perlindungan Anak mengkategorikan anak-anak yang berperilaku menyimpang sebagai anak dengan perlindungan khusus, yang penanganannya melibatkan Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), serta dinas-dinas terkait, bukan militer.
Lebih lanjut, Retno menyoroti minimnya regulasi pendukung di tingkat daerah. Ia mengungkapkan bahwa tidak ada peraturan gubernur maupun keputusan DPRD yang secara khusus mengatur program tersebut, padahal program ini menggunakan anggaran daerah. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai akuntabilitas dan transparansi penggunaan anggaran.
"Jika menggunakan APBD, tentu harus ada dasar hukumnya. Namun, pihak DPRD sendiri mengaku tidak pernah diajak berdiskusi mengenai program ini. Anak-anak seolah-olah diperlakukan sebagai sumber masalah, padahal akar masalahnya bisa jadi berasal dari keluarga," tegasnya.
Retno menekankan pentingnya melakukan asesmen individual terhadap setiap siswa yang dinilai bermasalah. Ia menganalogikan proses ini dengan diagnosis medis, di mana penyebab perilaku negatif harus diidentifikasi sebelum memberikan solusi yang tepat. Pemberian 'obat' berupa barak militer tanpa mengetahui penyebab masalahnya dapat memperburuk keadaan.
"Niat baik untuk membantu anak-anak harus dilakukan dengan mengikuti aturan yang berlaku. Tidak bisa dilakukan secara semena-mena. Hal ini merupakan bagian dari keadilan dan perlindungan hak-hak anak," pungkasnya.
Program pembinaan siswa di barak militer ini telah dilaksanakan di Jawa Barat. Pihak TNI mengklaim bahwa program ini bertujuan untuk membentuk karakter dan kedisiplinan siswa, bukan pendidikan militer. Sejumlah siswa SMP terlihat mengikuti barisan di Markas Resimen Artileri Medan 1 Sthira Yudha, Batalyon Armed 9, di Purwakarta.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyatakan bahwa program ini merupakan solusi bagi orang tua yang merasa tidak mampu lagi membina anak-anak mereka. Ia menambahkan bahwa orang tua menyerahkan tanggung jawab pembinaan kepada pemerintah daerah dan unsur TNI-Polri melalui surat keterangan bermaterai.
"Artinya, pemerintah daerah dan jajaran TNI-Polri mengelola dan mendidik anak-anak yang dititipkan oleh orang tua," ujar Dedi.