Hakim PN Surabaya Diduga Langgar Kewajiban Lapor Gratifikasi ke KPK, Jaksa Ungkap Fakta di Persidangan
Dua hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Erintuah Damanik dan Mangapul, menjadi sorotan dalam persidangan kasus suap terkait pembebasan terpidana kasus pembunuhan, Gregorius Ronald Tannur. Jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan bahwa kedua hakim tersebut diduga tidak melaporkan penerimaan sejumlah uang dari pihak pengacara ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pernyataan ini muncul dalam replik JPU sebagai tanggapan atas nota pembelaan yang diajukan oleh Erintuah Damanik dan Mangapul. Keduanya didakwa menerima suap untuk membebaskan Gregorius Ronald Tannur. Dalam repliknya, JPU menyoroti pengakuan Erintuah Damanik atas penerimaan uang sebesar 140.000 dollar Singapura, dimana ia menerima jatah sebesar 38.000 dollar Singapura. Mangapul juga mengakui menerima 36.000 dollar Singapura.
Uang tersebut diduga diterima dari pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat, dan ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur. JPU menekankan bahwa meskipun mengakui menerima uang, kedua terdakwa tidak melaporkannya kepada KPK, sebagaimana diatur dalam undang-undang. Hal ini menjadi salah satu dasar pertimbangan JPU dalam mengajukan tuntutan hukuman 9 tahun penjara terhadap kedua hakim tersebut.
Berikut adalah rincian dugaan gratifikasi yang diterima oleh Erintuah Damanik:
- Rp 97.500.000
- 32.000.000 dollar Singapura
- 35.992,25 ringgit Malaysia
Totalnya mencapai Rp 608.909.545,45. Sementara itu, Mangapul diduga menerima gratifikasi sebesar 21.400.000, 2.000 dollar AS, dan 6.000 dollar Singapura.
JPU juga mengakui bahwa sikap kedua hakim yang memilih mengembalikan uang tersebut kepada penyidik menjadi faktor yang meringankan dalam pengajuan tuntutan. Faktor-faktor yang meringankan tersebut telah diuraikan secara rinci dalam pertimbangan tuntutan.
Selain uang dari Lisa dan Meirizka, JPU juga menyoroti bahwa Erin dan Mangapul tidak melaporkan penerimaan uang ke Direktorat Gratifikasi KPK. Dalam kasus ini, JPU menuntut Erin dan Mangapul dengan hukuman 9 tahun penjara, sementara hakim lainnya, Heru Hanindyo, dituntut lebih berat, yaitu 12 tahun penjara. Ketiganya juga dituntut membayar denda sebesar Rp 750 juta subsidair 6 bulan kurungan.