Lampung Dorong Pemerintah Pusat Tetapkan Standar Nasional Harga dan Mutu Singkong Guna Lindungi Petani

Pemerintah Provinsi Lampung terus berupaya mencari solusi atas permasalahan harga singkong yang meresahkan para petani. Bersama Panitia Khusus (Pansus) Tata Niaga Singkong DPRD Provinsi Lampung, Pemprov Lampung gencar mendorong pemerintah pusat untuk turun tangan menyelesaikan isu yang dinilai krusial ini. Fokus utama adalah penetapan standar harga, kadar aci, dan sistem potongan yang seragam secara nasional.

Desakan ini disampaikan melalui serangkaian rapat daring yang melibatkan berbagai kementerian terkait, termasuk Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Bappenas, dan Badan Ketahanan Pangan Nasional. Pemprov Lampung berharap agar keputusan konkret dapat segera diambil dalam waktu dekat.

Upaya penyelesaian masalah ini bukan tanpa alasan. Sebelumnya, pada akhir Januari 2025, telah disepakati harga singkong Rp 1.350 per kilogram dengan potongan maksimal 15 persen antara petani dan pelaku industri tapioka. Namun, kenyataannya, harga di tingkat petani terus merosot hingga mencapai Rp 1.000 per kg, bahkan sejak awal April 2025, harga sempat menyentuh level Rp 1.100 per kg dengan potongan yang membengkak hingga 30 persen.

Ketua Pansus Tata Niaga Singkong, Mikdar Ilyas, mengungkapkan bahwa terdapat dua persoalan mendasar yang berada di luar kewenangan Pemprov Lampung, sehingga memerlukan intervensi dari pemerintah pusat. Menurutnya, tanpa solusi dari kementerian terkait, sulit untuk mencapai titik temu antara petani dan pihak pabrik.

Petani menginginkan harga Rp 1.350 per kg dengan potongan 15 persen dan kadar aci 20, sementara pabrik menginginkan harga yang sama dengan kadar aci 24 dan potongan 15 persen. Perbedaan ini menjadi sumber ketegangan yang berkelanjutan.

Mikdar Ilyas juga menyoroti bahwa masalah harga singkong memiliki dampak yang luas. Jika harga tidak rasional, pabrik tapioka di Lampung terancam tidak dapat beroperasi karena harga produksi lebih tinggi dari tapioka impor. Bahkan, tapioka Lampung kesulitan bersaing dengan produk dari provinsi lain.

"Lampung yang 70 persen menghasilkan tapioka di Indonesia tak laku dan kalah bersaing. Di pasar nasional saja, mereka tak bisa bersaing dengan tapioka dari Medan, Bangka, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Mereka yang di Lampung pasti kalah," ujar Mikdar.

Jika pemerintah pusat menetapkan harga yang berlaku secara nasional, pabrik akan mengikutinya. Mikdar berharap deputi dan direktur di kementerian terkait dapat segera menindaklanjuti masalah ini agar harga singkong di tingkat petani dapat kembali sesuai kesepakatan awal.

"Kondisi petani saat ini hanya terima harga singkong pada kisaran harga Rp 400–Rp 500 per kg. Bukan untung, modal pun tak kembali," keluh Mikdar.

Ia menekankan bahwa masyarakat Lampung sangat bergantung pada tanaman singkong, sehingga masalah ini tidak boleh dianggap remeh. Mikdar berharap harga kesepakatan dapat dijalankan dan berlaku secara nasional.

Hilirisasi Singkong Sebagai Solusi Jangka Panjang

Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal juga telah berkoordinasi dengan seluruh bupati dan wali kota se-Lampung untuk membahas hilirisasi komoditas strategis, termasuk singkong. Hilirisasi dianggap sebagai kunci untuk meningkatkan nilai tambah produk, daya saing, dan kemandirian industri.

"Tujuan investasi ini untuk menyerap lapangan kerja serta mendapatkan nilai tambah dari produk. Konsentrasi kami sekarang melakukan hilirisasi di tingkat desa," kata Mirza.

Hilirisasi singkong sejalan dengan Asta Cita Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, terutama Asta Cita Kelima tentang hilirisasi dan industri berbasis sumber daya alam. Lampung sebagai produsen ubi kayu nomor satu di Indonesia harus mengembangkan hilirisasi agar tidak hanya terpaku pada industri tapioka.

Mirza menjelaskan bahwa singkong dapat diolah menjadi bahan baku bahan bakar minyak (BBM) untuk mendukung kemandirian energi dan energi hijau, sehingga dapat meningkatkan dan menstabilkan harga singkong.

Saat ini, Lampung masih menjadi produsen ubi kayu terbesar di Indonesia dengan kontribusi 39 persen dari total produksi nasional. Kabupaten Lampung Tengah menjadi salah satu daerah dengan produksi ubi kayu terbesar dengan luas panen mencapai 77.038 hektare.