Penghapusan Outsourcing: Antara Janji Politik dan Realitas Ekonomi
Janji kampanye Presiden Prabowo Subianto untuk menghapuskan sistem kerja outsourcing di Indonesia disambut dengan beragam reaksi. Kalangan ekonom menilai bahwa realisasi janji tersebut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, mengingat kompleksitas regulasi dan implikasi ekonominya.
Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyoroti bahwa penghapusan outsourcing akan berdampak signifikan pada lanskap ketenagakerjaan nasional. Menurutnya, sistem outsourcing telah memiliki landasan hukum yang kuat melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah turunannya. Pembatalan sistem ini memerlukan amandemen undang-undang, sebuah proses legislasi yang kompleks dan berpotensi menghadapi resistensi dari berbagai pihak, termasuk industri dan perbankan yang selama ini mengandalkan outsourcing untuk efisiensi operasional.
Dari perspektif ekonomi, penghapusan outsourcing secara total dapat memicu kenaikan biaya tenaga kerja yang substansial, terutama bagi industri padat karya. Selama ini, perusahaan memanfaatkan outsourcing untuk menekan biaya yang berkaitan dengan tunjangan, pesangon, dan pensiun karyawan. Penghapusan sistem ini tanpa adanya skema transisi yang matang dikhawatirkan akan mengurangi daya saing industri nasional di pasar global.
Fleksibilitas tenaga kerja juga menjadi pertimbangan krusial bagi investor. Regulasi yang kaku dan tidak pasti dapat menurunkan minat investasi dan meningkatkan biaya operasional. Penghapusan outsourcing tanpa disertai peningkatan produktivitas tenaga kerja dan efisiensi sistem ketenagakerjaan dapat mengirimkan sinyal negatif kepada investor.
Namun, dari sudut pandang keadilan sosial, penghapusan outsourcing berpotensi meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan bagi pekerja. Praktik outsourcing kerap dikritik karena minimnya perlindungan hukum, pemotongan gaji, dan ketiadaan jenjang karier bagi pekerja. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menekankan penguatan perlindungan hukum bagi pekerja outsourcing menunjukkan adanya dukungan yudisial terhadap reformasi sistem ini.
Josua Pardede menekankan pentingnya pendekatan bertahap dan berbasis data dalam merealisasikan janji penghapusan outsourcing. Tanpa strategi transisi yang komprehensif, penghapusan sistem ini dapat berdampak kontraproduktif terhadap iklim investasi, efisiensi bisnis, dan lapangan kerja.
Alternatif yang lebih realistis, menurutnya, adalah reformasi sistem outsourcing dengan membatasi cakupannya hanya pada pekerjaan non-inti, memperketat pengawasan, dan menjamin hak-hak pekerja dalam kontrak alih daya. Langkah ini diharapkan dapat menyeimbangkan antara perlindungan tenaga kerja dan kebutuhan dunia usaha.
Secara definisi, outsourcing adalah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian kerja atau penyediaan jasa pekerja. Umumnya, pekerjaan yang dialihdayakan meliputi keamanan, kebersihan, katering, dan operator call center. Regulasi yang berlaku melarang perusahaan untuk mengalihdayakan pekerjaan inti.
Presiden Prabowo Subianto, dalam peringatan Hari Buruh Internasional, menyampaikan komitmennya untuk menghapus outsourcing secepat mungkin. Namun, ia juga mengingatkan pentingnya menjaga kepentingan investor agar investasi tetap berjalan dan lapangan kerja tetap tersedia.
Beberapa poin penting terkait dengan isu outsourcing:
- Definisi Outsourcing: Penyerahan sebagian pekerjaan ke pihak ketiga.
- Regulasi: Diatur dalam UU Cipta Kerja dan PP terkait.
- Dampak Ekonomi: Potensi kenaikan biaya tenaga kerja.
- Keadilan Sosial: Perlindungan pekerja dan kesejahteraan.
- Alternatif: Reformasi sistem outsourcing yang lebih adil.