Antisipasi Kesenjangan Lapangan Kerja di Tengah Bonus Demografi: Peluang Diaspora Sebagai Solusi Alternatif

Indonesia bersiap menghadapi gelombang bonus demografi pada tahun 2030, sebuah momentum krusial yang berpotensi menghadirkan keuntungan sekaligus tantangan. Lonjakan jumlah penduduk usia produktif ini memerlukan strategi yang matang agar tidak justru memicu permasalahan sosial, terutama terkait ketersediaan lapangan kerja.

Arsjad Rasjid, Ketua Dewan Pengawas Indonesia Business Council (IBC), menekankan pentingnya pemanfaatan bonus demografi secara optimal. Menurutnya, Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan penciptaan lapangan kerja di dalam negeri. Mengingat jumlah penduduk usia produktif mencapai 156 juta jiwa, dengan tambahan 2,5 juta lulusan baru setiap tahunnya, persaingan di pasar kerja akan semakin ketat.

"Ketersediaan lapangan kerja di Indonesia saat ini belum mencukupi untuk menampung seluruh angkatan kerja produktif. Digitalisasi dan pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) dalam berbagai sektor industri justru berpotensi mengurangi kebutuhan tenaga kerja," ujar Arsjad dalam diskusi di Jakarta.

Pemerintah terus berupaya menarik investasi untuk membuka lapangan kerja baru. Namun, Arsjad berpendapat bahwa investasi sebesar apapun tidak akan mampu sepenuhnya mengatasi kesenjangan yang ada. Investasi modern cenderung lebih padat modal (capital intensive) daripada padat karya (labor intensive), sehingga dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja tidak akan signifikan.

Oleh karena itu, Arsjad mengusulkan agar Indonesia membuka akses dan peluang kerja di luar negeri sebagai solusi alternatif. Ia mencontohkan keberhasilan Filipina, yang ekonominya terbantu oleh remitansi (kiriman uang) dari pekerja migran sebesar 2% dari PDB. Diaspora, atau warga negara yang bekerja di luar negeri, dapat menjadi saluran distribusi produk Indonesia dan memperkuat hubungan ekonomi dengan negara lain.

Arsjad juga menyoroti kurangnya pemahaman pengusaha asing, terutama di Arab Saudi, tentang potensi Indonesia. Kebanyakan dari mereka hanya mengenal Indonesia melalui tenaga kerja rumah tangga (ART) dan jemaah haji/umrah. Mereka terkejut mengetahui bahwa Indonesia juga menghasilkan produk manufaktur dan komoditas lainnya.

Untuk memaksimalkan potensi diaspora, Arsjad menekankan pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Program pelatihan vokasi dan sertifikasi perlu diberikan kepada para pekerja migran agar mereka dapat meningkatkan keterampilan dan posisi mereka di tempat kerja. Dengan demikian, mereka tidak hanya bekerja sebagai ART, tetapi juga dapat menjadi koki, profesional di bidang perhotelan, atau bahkan bekerja di kapal pesiar.

Strategi Peningkatan Kualitas SDM untuk Diaspora

Berikut adalah contoh langkah-langkah peningkatan kualitas SDM yang dapat dilakukan:

  • Pelatihan Awal: Pekerja migran menjalani pelatihan sebagai ART selama tiga tahun.
  • Monitoring dan Evaluasi: Pemerintah memantau perkembangan pekerja migran dan memberikan dukungan.
  • Pelatihan Vokasi: Setelah kembali ke Indonesia, pekerja migran mengikuti pelatihan vokasi untuk mengembangkan keterampilan baru, misalnya menjadi chef.
  • Sertifikasi: Pekerja migran memperoleh sertifikasi yang diakui secara internasional.
  • Pengembangan Karir: Dengan keterampilan dan sertifikasi yang dimiliki, pekerja migran dapat bekerja sebagai juru masak di restoran atau profesional di bidang perhotelan.

Dengan strategi yang tepat, bonus demografi dapat menjadi berkah bagi Indonesia. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan lapangan kerja yang cukup dan meningkatkan kualitas SDM agar Indonesia dapat bersaing di pasar global.