Replik Jaksa Ungkap Kontradiksi dalam Pleidoi Hakim Heru Terkait Kasus Suap Vonis Bebas Ronald Tannur
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat kembali menyidangkan kasus dugaan suap yang melibatkan hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Heru Hanindyo. Sidang kali ini beragendakan pembacaan replik oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas nota pembelaan (pleidoi) yang diajukan oleh terdakwa Heru Hanindyo.
Dalam repliknya, JPU menyoroti sejumlah poin dalam pleidoi Heru yang dinilai kontradiktif dan tidak konsisten dengan fakta-fakta yang terungkap selama persidangan. Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah pengakuan Heru yang mengaku tidak mengetahui apapun terkait penerimaan dan pembagian uang suap dari Lisa Rachmat, namun di sisi lain, Heru justru mengetahui adanya pertemuan antara Erintuah Damanik dan Lisa Rachmat.
"Dalil yang disampaikan oleh terdakwa tersebut sudah jelas kontradiktif. Bagaimana mungkin terdakwa tidak mengetahui apapun terkait dengan penerimaan dan pembagian uang dari saksi Lisa Rachmat, akan tetapi terdakwa justru mengetahui bahwa saksi Erintuah Damanik telah menemui saksi Lisa Rachmat," ujar JPU dalam persidangan.
JPU juga mempertanyakan logika Heru yang menyebut Erintuah Damanik menjual namanya kepada Lisa Rachmat, padahal Heru sendiri menyatakan bahwa Erintuah tidak pernah bertemu dengan Lisa. Menurut JPU, pernyataan ini saling bertentangan dan menimbulkan keraguan atas kebenaran pleidoi Heru.
Selain itu, JPU juga menyoroti pembelaan Heru yang mengaku tidak mengetahui adanya pembagian uang suap di ruang kerja hakim Mangapul. JPU menilai bahwa pengakuan ini juga kontradiktif, mengingat Heru dalam pleidoinya mengaku tidak berada di Surabaya pada saat pembagian uang tersebut terjadi, namun ia justru mengetahui adanya pembagian uang tersebut.
"Lagi-lagi bersifat kontradiktif karena dalam waktu yang pada saat Terdakwa tidak sedang berada di kota Surabaya tetapi dalam waktu yang sama terdakwa juga mengetahui ada pembagian uang sebesar 140 ribu dolar Singapur yang terjadi di Surabaya," tegas JPU.
JPU juga menolak dalil-dalil yang diajukan oleh tim penasihat hukum Heru yang bersandar pada keterangan Lisa Rachmat yang mengaku tidak pernah memberikan uang suap. Menurut JPU, jika keterangan Lisa tersebut benar, maka seharusnya Erintuah Damanik dan Mangapul tidak ragu untuk membantah penerimaan suap tersebut. Namun, faktanya, kedua hakim tersebut mengakui telah menerima uang dari Lisa Rachmat dan telah menyerahkannya kepada penyidik sebagai barang bukti.
Lebih lanjut, JPU juga membantah dalil penasihat hukum Heru yang menyebut penyerahan uang dari ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja, kepada Lisa Rachmat sebagai pembayaran jasa hukum, bukan suap. JPU menegaskan bahwa pihaknya telah membuktikan bahwa pemberian uang tersebut adalah suap dan uang yang disimpan di safe deposit box (SDB) Heru merupakan hasil tindak pidana korupsi.
Atas dasar uraian tersebut, JPU memohon kepada majelis hakim untuk menolak pleidoi Heru dan tim penasihat hukumnya, serta menjatuhkan vonis sesuai dengan tuntutan yang telah diajukan, yaitu 12 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan.
Sebagai informasi, kasus ini bermula dari penangkapan Ronald Tannur atas kasus dugaan pembunuhan terhadap kekasihnya, Dini Sera Afrianti. Dalam proses persidangan, Ronald Tannur divonis bebas oleh majelis hakim PN Surabaya. Namun, belakangan terungkap bahwa vonis bebas tersebut diberikan karena adanya suap yang melibatkan tiga hakim PN Surabaya, yaitu Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul. Suap tersebut diduga diberikan oleh pihak keluarga Ronald Tannur melalui pengacara Lisa Rachmat dengan tujuan mempengaruhi putusan hakim.
Kasus ini kemudian ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menyeret ketiga hakim tersebut sebagai tersangka. JPU mendakwa ketiga hakim tersebut telah menerima suap sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308 ribu atau setara Rp 3,6 miliar terkait vonis bebas Ronald Tannur.
Setelah melalui proses kasasi Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi tersebut dan Ronald Tannur telah divonis 5 tahun penjara.