Kejaksaan Agung Bantah Klaim Warisan dalam Kasus Hakim Surabaya: Bukti Gratifikasi Lebih Kuat

Kejaksaan Agung secara tegas membantah klaim yang diajukan oleh pengacara Heru Hanindyo, hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, terkait asal-usul valuta asing (valas) yang ditemukan dalam safe deposit box (SDB) miliknya. Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) menegaskan bahwa bukti-bukti yang mereka miliki justru mengarah pada penerimaan gratifikasi oleh Heru, bukan warisan atau titipan seperti yang diklaim.

Dalam repliknya di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, JPU menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 12 B Ayat (1) huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, justru terdakwa yang memiliki kewajiban untuk membuktikan bahwa harta yang diterimanya bukanlah hasil gratifikasi. Pasal ini memberlakukan mekanisme pembuktian terbalik, di mana beban pembuktian dipindahkan kepada terdakwa.

Salah satu contoh yang disoroti oleh JPU adalah klaim pengacara Heru mengenai uang sebesar 9.100 dollar Singapura yang disita dari rumah Heru di Surabaya. Pengacara berdalih bahwa uang tersebut merupakan titipan dari beberapa orang untuk keperluan pembelian barang saat Heru melakukan dinas luar negeri ke Spanyol pada April-Mei 2024. Namun, JPU menyoroti bahwa selama persidangan, pihak Heru tidak pernah menghadirkan saksi yang relevan, termasuk kakak Heru yang bernama Ambar atau suaminya, untuk memberikan keterangan yang mendukung klaim tersebut. JPU mempertanyakan mengapa saksi kunci yang dapat memverifikasi kebenaran titipan uang tersebut tidak dihadirkan di pengadilan.

Selain itu, JPU juga menekankan bahwa Heru dan pengacaranya tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi independen yang tidak memiliki hubungan keluarga atau afiliasi dengan terdakwa. Hal ini, menurut JPU, bertentangan dengan ketentuan Pasal 185 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 35 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan ini menekankan pentingnya keterangan saksi yang objektif dan tidak bias dalam proses pembuktian di pengadilan.

Dalam kasus ini, Heru didakwa atas dua tindak pidana:

  • Suap: Menerima suap sebesar 36.000 dollar Singapura, Rp 1 miliar, dan 120.000 dollar Singapura untuk membebaskan pelaku pembunuhan Gregorius Ronald Tannur.
  • Gratifikasi: Menerima gratifikasi senilai Rp 104.500.000, 18.400 dollar Amerika Serikat (AS), 19.100 dollar Singapura, 100.000 yen, 6.000 euro, dan 21.715 riyal Saudi. Total gratifikasi yang diduga diterima Heru mencapai Rp 835.498.789,5.

Atas perbuatannya tersebut, Heru dituntut hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsidair 6 bulan kurungan. Jaksa mengungkapkan bahwa sikap Heru yang tidak kooperatif selama proses penyidikan dan persidangan menjadi salah satu faktor yang memberatkan tuntutan yang diajukan.