Infrastruktur Hijau: Pilar Utama Pembangunan Kota Berkelanjutan
Ruang terbuka hijau di perkotaan memegang peranan yang jauh lebih signifikan daripada sekadar mempercantik lanskap kota. Lebih dari itu, keberadaan ruang hijau menjadi fondasi penting dalam membangun ketahanan kota terhadap dampak perubahan iklim, meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, dan mewujudkan lingkungan yang inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat.
Sebuah studi internasional yang dipublikasikan oleh Global Center for Clean Air Research (GCARE) dari University of Surrey, Inggris, mengungkapkan bahwa investasi pada penghijauan perkotaan, termasuk optimalisasi tata ruang jalan, peningkatan kualitas udara dan air, menghadirkan sejumlah manfaat komprehensif. Manfaat tersebut meliputi peningkatan kesehatan mental, pelestarian keanekaragaman hayati, dan terciptanya ekosistem kota yang lebih seimbang.
Implementasi konsep 'City in Nature' di Singapura adalah contoh nyata keberhasilan integrasi infrastruktur hijau dalam pembangunan kota. Melalui pembangunan koridor hijau dan taman vertikal, Singapura berhasil mereduksi efek panas perkotaan dan mendukung keberlanjutan keanekaragaman hayati.
Di sisi lain, kota Cardiff telah menanam lebih dari 80.000 pohon sebagai bagian dari implementasi Strategi Satu Planet, sebuah inisiatif ambisius untuk menciptakan kota yang berkelanjutan. Sementara itu, Kopenhagen mengadopsi atap hijau dan solusi adaptasi perubahan iklim untuk mengelola risiko banjir dan meningkatkan kualitas hidup penduduknya.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Frontiers in Sustainable Cities menekankan pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam proses penghijauan kota. Keterlibatan masyarakat memastikan bahwa seluruh warga memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati manfaat ruang hijau, sekaligus mencegah terjadinya gentrifikasi hijau.
Gentrifikasi hijau adalah fenomena di mana peningkatan kualitas lingkungan, seperti pembangunan taman, paradoksnya justru meningkatkan harga properti dan biaya hidup di sekitarnya. Akibatnya, penduduk asli berpenghasilan rendah terpaksa meninggalkan lingkungan mereka karena tidak mampu lagi membayar biaya hidup yang meningkat.
Profesor Prashant Kumar, pendiri GCARE dan penulis utama studi tersebut, menyatakan bahwa penghijauan kota adalah solusi yang efektif dan efisien untuk mengatasi berbagai tantangan mendesak, mulai dari perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati hingga ketidaksetaraan kesehatan yang semakin meningkat. Ia menekankan bahwa infrastruktur berbasis alam bukan hanya elemen estetika tambahan, tetapi juga komponen fundamental dalam pembangunan perkotaan yang berkelanjutan.
Para ahli menyerukan tindakan terpadu yang mengintegrasikan unsur alam ke dalam setiap tahap perencanaan dan kebijakan kota. Ini mencakup pemberian insentif kepada pengembang properti untuk memprioritaskan infrastruktur berbasis alam dan memastikan alokasi pendanaan jangka panjang untuk program penghijauan kota.
Pemanfaatan teknologi seperti Kecerdasan Buatan (AI), Sistem Informasi Geografis (GIS), dan penginderaan jauh membuka peluang baru bagi kota-kota untuk memetakan risiko lingkungan, merancang solusi yang lebih cerdas, dan memantau dampak jangka panjang dari infrastruktur hijau.
Dengan menggabungkan kemajuan teknologi dengan pengambilan keputusan berbasis data yang akurat, kota-kota dapat mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang ditetapkan oleh PBB dan mengimplementasikan program penghijauan perkotaan dalam skala yang lebih luas.
Profesor Veronica Soebarto, tokoh kunci dalam inisiatif Green Urban Futures, menekankan peran krusial penghijauan kota dalam menghadapi pemanasan global. Penghijauan kota tidak hanya menurunkan suhu perkotaan dan mengurangi efek panas dalam bangunan, tetapi juga menghadirkan alam ke kota, meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan penduduk, serta menciptakan lingkungan yang lebih layak huni.