RUU Perampasan Aset Terhambat, Perppu Jadi Solusi Alternatif?

Pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengusulkan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai jalan keluar jika pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengalami jalan buntu. Usulan ini muncul seiring dengan dukungan kuat yang ditunjukkan Presiden Prabowo Subianto terhadap pengesahan RUU tersebut sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Zaenur Rohman, peneliti dari Pukat UGM, berpendapat bahwa Perppu dapat menjadi solusi efektif apabila tidak ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR terkait RUU Perampasan Aset. "Jika Presiden merasa sulit mencapai konsensus di DPR, maka solusi kedua adalah menggunakan Perppu," ujarnya. Dengan diterbitkannya Perppu, DPR akan memiliki kewajiban untuk membahasnya pada masa persidangan berikutnya. Langkah ini dinilai penting mengingat pemerintahan sebelumnya telah mengirimkan surat presiden (Surpres) kepada DPR untuk segera membahas RUU tersebut, namun hingga saat ini belum ada progres signifikan.

Zaenur menambahkan, DPR terkesan memiliki kekhawatiran terhadap RUU Perampasan Aset, sehingga muncul dugaan bahwa mereka takut aturan ini akan menjadi "senjata makan tuan". Oleh karena itu, penerbitan Perppu dianggap sebagai langkah strategis untuk mempercepat pengesahan RUU tersebut. Sebelumnya, Zaenur juga menekankan pentingnya aksi nyata dari Presiden dalam mendukung pengesahan RUU Perampasan Aset, salah satunya dengan mengonsolidasikan partai politik pendukung pemerintah di DPR.

Ia meyakini bahwa dengan turun tangannya Presiden untuk melakukan konsolidasi, pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset dapat dipercepat. Zaenur mencontohkan pengesahan RUU TNI yang berlangsung cepat karena adanya dorongan kuat dari Presiden. Dukungan terhadap RUU Perampasan Aset sendiri telah dinyatakan secara terbuka oleh Presiden Prabowo Subianto dalam peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) di Jakarta. Presiden menegaskan bahwa tidak boleh ada kompromi terhadap koruptor yang tidak bersedia mengembalikan aset hasil kejahatannya.

RUU Perampasan Aset pertama kali diusulkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada tahun 2008 dan diajukan ke DPR pada tahun 2012. Namun, hingga saat ini, RUU tersebut belum berhasil disahkan, bahkan melewati dua periode pemerintahan. Pemerintah saat ini, melalui Kementerian Hukum dan HAM, kembali mengusulkan RUU Perampasan Aset masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.