UU KSDAHE Digugat ke MK: Masyarakat Adat Keluhkan Minimnya Partisipasi dalam Pembentukan Undang-Undang
Gugatan UU KSDAHE ke MK: Aspirasi Masyarakat Adat Terabaikan?
Sidang uji formil Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) di Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi panggung bagi masyarakat adat untuk menyuarakan kekecewaan mereka. UU Nomor 32 Tahun 2024, yang merupakan perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE, dinilai cacat secara formil karena minimnya partisipasi publik, khususnya dari masyarakat adat.
Jero Putu Ardana, Ketua Tim 9 Masyarakat Adat Dalem Tamblingan dan Ketua Masyarakat Adat Dalem Tamblingan di Dewan AMAN Wilayah Bali, mengungkapkan bahwa negara cenderung mengabaikan peran budaya dalam pengelolaan konservasi. Menurutnya, paradigma konservasi yang selama ini diterapkan hanya berfokus pada interaksi antara faktor hayati dan non-hayati, mengesampingkan dimensi kultur yang sangat penting bagi masyarakat adat. "Kami telah menjaga bentang alam ratusan bahkan ribuan tahun melalui nilai-nilai budaya kami," tegasnya.
Kritik tajam juga dilontarkan terkait proses pembahasan RUU KSDAHE. Jero Putu Ardana menuturkan bahwa masyarakat adat hanya diberi waktu singkat untuk menyampaikan aspirasi, tanpa adanya tanggapan berarti dari anggota DPR. Lebih lanjut, ia menyayangkan bahwa RUU tersebut tiba-tiba disahkan menjadi undang-undang tanpa pemberitahuan atau konsultasi lanjutan.
Senada dengan hal tersebut, Indonesian Parliamentary Center (IPC) melalui Arif Adiputro menyoroti kurangnya transparansi DPR dalam penyusunan UU KSDAHE. IPC menemukan bahwa draf naskah akademik tidak diumumkan secara terbuka di website maupun kanal resmi DPR. Selain itu, dari 48 rapat terkait penyusunan UU, hanya sebagian kecil laporan singkat yang dipublikasikan, sementara catatan rapat dan risalah tidak dapat diakses.
"Kami sudah mengajukan permintaan resmi sejak Juli 2024, tapi jawaban DPR selalu sama, tidak dalam penguasaan PPID. Bahkan link yang diberikan untuk mengakses informasi juga tidak dapat dibuka," jelas Arif. Praktik ini dinilai melanggar prinsip "partisipasi bermakna" yang diamanatkan oleh MK dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang meliputi hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapatkan penjelasan.
Permohonan uji formil UU KSDAHE ini diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), dan seorang petani. Dalam sidang perdana di MK, kuasa hukum pemohon, Gregorius Bruno Djako, menyatakan bahwa UU 32/2024 tidak berdaya guna dan tidak bermanfaat bagi masyarakat adat dan komunitas lokal. Undang-undang tersebut dinilai berpotensi menimbulkan permasalahan substantif, seperti kriminalisasi, perampasan hak, diskriminasi, dan pengabaian hak-hak masyarakat adat yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan konservasi.
Para pemohon berpendapat bahwa tidak dilibatkannya pihak-pihak yang terdampak dan peduli terhadap sumber daya alam hayati dan ekosistem menyebabkan UU 32/2024 kehilangan arah dan tujuan yang jelas. Mereka juga menyoroti pemahaman ekosistem yang tidak menyentuh subjek hukum yang terkait erat dengan ekosistem, yaitu masyarakat adat dan komunitas lokal. Oleh karena itu, para pemohon meminta MK untuk menyatakan UU 32/2024 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam petitumnya, pemohon juga meminta agar UU 5/1990 serta Pasal 33 dan Pasal 69 huruf c UU 17/2019 tentang Sumber Daya Air diberlakukan kembali.