MK Soroti Proses Pembentukan UU KSDAHE: Partisipasi Publik Dipertanyakan

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyoroti proses legislasi terkait Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024, yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE). Dalam sidang uji formil, hakim MK mempertanyakan transparansi dan partisipasi publik yang minim dalam pembentukan undang-undang tersebut.

Wakil Ketua MK, Saldi Isra, secara khusus mengkritik lambatnya respons pemerintah dalam menyediakan dokumen yang membuktikan adanya partisipasi masyarakat yang memadai. Ia mengungkapkan kekecewaannya atas kesulitan memperoleh bukti-bukti konkret, seperti laporan kegiatan, makalah, atau risalah diskusi, yang dapat menunjukkan keterlibatan publik yang sesungguhnya. Menurutnya, dari sejumlah besar pertemuan yang diadakan selama proses legislasi, hanya sedikit yang benar-benar melibatkan partisipasi publik secara terbuka.

Hakim MK lainnya, Arief Hidayat, menyoroti peran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam menjaring aspirasi publik secara mandiri. Ia mempertanyakan apakah pemerintah, selain mengikuti proses yang difasilitasi oleh DPR, juga melakukan upaya proaktif untuk menyerap masukan dari berbagai pihak terkait.

Menanggapi sorotan tersebut, Dirjen KSDAE KLHK, Satyawan Pudyatmoko, menjelaskan bahwa pemerintah telah mengikuti proses yang diselenggarakan oleh DPR, termasuk forum diskusi (FGD) dengan melibatkan akademisi dan pemerhati konservasi. Ia mengakui bahwa partisipasi publik yang diinisiasi oleh kementerian lebih bersifat informal dan kurang terdokumentasi secara komprehensif. Satyawan juga menyebutkan adanya diskusi dengan lembaga konservasi dan pengusaha konservasi, yang dikoordinasi oleh DPR.

Lebih lanjut, Hakim MK Asrul Sani menekankan pentingnya pelibatan publik secara langsung dalam penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), bukan hanya antarinstansi pemerintah. Ia mempertanyakan apakah ada upaya untuk melibatkan masyarakat sipil di luar lingkaran kementerian dan lembaga terkait. Satyawan kemudian menyatakan bahwa ada pertemuan terbuka yang diinisiasi oleh Menteri LHK sebelumnya, dan akan mencari arsip undangan sebagai bukti.

Sidang ini terkait dengan permohonan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Walhi, Kiara, dan seorang petani. Para pemohon menguji formil UU 32/2024 karena menilai undang-undang tersebut tidak berdaya guna bagi masyarakat adat dan komunitas lokal. Mereka berpendapat bahwa UU 32/2024 berpotensi menimbulkan kriminalisasi, perampasan hak, diskriminasi, dan pengabaian hak-hak masyarakat adat yang hidup di sekitar kawasan konservasi. Para pemohon meminta MK untuk menyatakan bahwa UU 32/2024 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan memberlakukan kembali UU 5/1990 serta pasal-pasal terkait sumber daya air.