Penerapan ERP Jakarta: Usulan Penggunaan Pelat Kuning untuk Ojek dan Taksi Online Mencuat
Penerapan sistem jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP) di sejumlah ruas jalan di ibukota Jakarta semakin mendekati kenyataan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah mematangkan rencana ini, dengan harapan pendapatan yang diperoleh dari ERP dapat dialokasikan untuk mensubsidi transportasi umum. Meskipun demikian, implementasi ERP masih terganjal regulasi yang belum rampung.
Wacana ERP ini telah memicu berbagai reaksi, termasuk penolakan dari kalangan pengemudi ojek online (ojol) yang khawatir akan penurunan pendapatan mereka. Menanggapi polemik ini, muncul gagasan untuk mewajibkan ojek online dan taksi online di Jakarta menggunakan pelat kuning.
Gonggomtua Sitanggang, Direktur Asia Tenggara Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), berpendapat bahwa isu utama terkait pelat kuning terletak pada sistem dan mekanisme kebijakan yang mendasarinya. Ia menjelaskan bahwa pelat kuning umumnya menandakan hak kendaraan untuk menerima subsidi pemerintah. Namun, muncul pertanyaan krusial: apakah pihak-pihak yang saat ini menerima subsidi adalah kelompok yang paling tepat sasaran?
"Persoalannya lebih kepada sistem yang berlaku. Jika kendaraan menggunakan pelat kuning, artinya mereka berpotensi mendapatkan subsidi. Pertanyaannya, apakah mereka adalah kelompok yang paling layak menerima subsidi tersebut? Proses kebijakan dan regulasi inilah yang perlu kita cermati. Apabila taksi online dikategorikan sebagai angkutan umum dengan pelat kuning, mereka harus memenuhi standar yang setara dengan operator transportasi publik lainnya," ujar Gonggomtua.
Gonggomtua menekankan bahwa taksi dan ojek online harus memenuhi kewajiban yang sama dengan transportasi publik lainnya, termasuk standar pelayanan minimal (SPM), jaminan keselamatan dan keamanan penumpang, serta struktur organisasi yang formal dan berizin resmi dari pemerintah. Ia menyoroti pentingnya peninjauan ulang terhadap proses pembuatan kebijakan dan regulasi agar subsidi yang diberikan tepat sasaran.
Ia menambahkan, selama ini terdapat dua pihak yang berbeda pendapat, yaitu mitra pengemudi dan perusahaan aplikator. Seharusnya, kedua belah pihak duduk bersama dengan pemerintah untuk mencari solusi terbaik. Menurutnya, transportasi publik yang ideal adalah transportasi yang aman, selamat, inklusif, dan memenuhi standar pelayanan minimal (SPM) yang ditetapkan pemerintah. SPM ini menjadi jaminan bahwa layanan yang diberikan sesuai dengan peraturan dan kebijakan yang berlaku.
Untuk itu perlu adanya dialog yang konstruktif antara berbagai pihak terkait, termasuk pemerintah, perusahaan aplikasi, dan perwakilan pengemudi, untuk merumuskan kebijakan yang adil dan efektif bagi semua pihak.