Mengapa Indonesia Menyebut China dengan Tiongkok? Sebuah Tinjauan Sejarah
Penggunaan istilah Tiongkok untuk merujuk kepada negara China cukup umum dijumpai dalam percakapan sehari-hari di Indonesia. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mengenai akar sejarah dan alasan di balik preferensi penyebutan tersebut. Mengapa bukan istilah "China" yang lebih mendunia yang digunakan secara luas di Indonesia?
Asal Usul dan Evolusi Nama
Menurut catatan sejarah, nama "China" memiliki kemungkinan besar berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu kata 'Cina', yang mengacu pada Dinasti Qin (diucapkan "Chin"). Kemudian nama tersebut menyebar melalui para pedagang Persia yang menyebut wilayah itu sebagai Cin. Dari sana, penyebutan "China" menjadi populer secara global, termasuk di dunia Barat.
Di sisi lain, istilah "Tiongkok" berakar dari kata "Zhongguo" dalam bahasa Mandarin, yang berarti "Negara Tengah". Istilah ini bukan merupakan barang baru, tetapi telah digunakan selama lebih dari 3.000 tahun lamanya. Bukti paling awal ditemukan dalam wadah perunggu kuno bernama Hezun dari era Dinasti Zhou Barat. Dalam wadah tersebut, terdapat frasa "Zhai zi Zhong Guo" yang berarti "hidup di tengah-tengah dunia". Dari sanalah istilah "Zhongguo" kemudian digunakan sebagai nama negara.
Pergeseran Resmi di Era SBY
Perubahan signifikan terjadi pada tahun 2014 ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara resmi mengganti penggunaan istilah "China" dengan "Tiongkok" melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 12 Tahun 2014. Ketetapan ini secara otomatis mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 yang sebelumnya berlaku.
Keputusan ini bukan tanpa alasan. Pemerintah Indonesia pada saat itu mempertimbangkan dampak psikososial dan diskriminatif yang mungkin timbul akibat penggunaan istilah "Tjina", yang dianggap sebagai pengganti dari "Tionghoa/Tiongkok". Presiden SBY berpendapat bahwa tindakan diskriminatif terhadap individu, kelompok, komunitas, atau ras tertentu bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia.
Pemerintah China sendiri memberikan tanggapan positif terhadap perubahan nama ini. Seorang pejabat dari Kementerian Luar Negeri Tiongkok pada saat itu menyampaikan bahwa kata "China" membawa kenangan buruk, terutama terkait dengan masa penjajahan Jepang. Pada masa itu, mereka dipanggil dengan sebutan tersebut.
Implikasi Kebijakan
Keppres No. 12 Tahun 2014 memiliki implikasi yang luas. Semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan diwajibkan untuk mengubah penggunaan istilah "orang dari atau komunitas Tjina/China/Cina" menjadi "orang dan/atau komunitas Tionghoa". Bahkan, penyebutan resmi negara Republik Rakyat China pun diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.