Ikadin Kritik Pasal Saksi Mahkota dalam RUU KUHAP, Berpotensi Penyalahgunaan Wewenang

Ikadin Kritik Pasal Saksi Mahkota dalam RUU KUHAP, Berpotensi Penyalahgunaan Wewenang

Ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Maqdir Ismail, menyuarakan kekhawatiran mendalam terkait ketentuan mengenai saksi mahkota yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Menurutnya, pasal yang memberikan keringanan hukuman bagi tersangka yang bersedia menjadi saksi mahkota dengan mengakui perbuatan pidana berpotensi membuka celah penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum.

Maqdir menyampaikan pandangannya dalam sebuah diskusi yang diadakan oleh Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) di Jakarta. Ia berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 70 RUU KUHAP tersebut, yang menjanjikan keringanan hukuman bagi saksi mahkota, dapat mendorong seseorang untuk mengakui perbuatan yang mungkin tidak dilakukannya, semata-mata demi mendapatkan keringanan hukuman.

"Buat kami, terutama buat saya, ini sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Kenapa? Karena orang ini akan mengakui kejahatan yang belum tentu dia lakukan," tegas Maqdir.

Pengacara senior itu mencontohkan praktik serupa di Amerika Serikat, di mana pengakuan terdakwa seringkali menjadi dasar putusan perkara pidana, meskipun pengakuan tersebut mungkin diberikan karena tekanan atau iming-iming keringanan hukuman. Maqdir khawatir bahwa hal serupa dapat terjadi di Indonesia jika pasal saksi mahkota ini disahkan.

"Yang saya khawatir itu justru, pengakuan itu hanya digunakan supaya dia ringan," imbuhnya.

Maqdir menekankan bahwa terdakwa dalam posisi yang rentan dan tertekan, sehingga pengakuan yang diberikan mungkin tidak sepenuhnya jujur dan sukarela. Ia berpendapat bahwa undang-undang seharusnya tidak memberikan hak kepada penyidik atau hakim untuk memaksa seseorang memberikan pengakuan.

Alih-alih mengandalkan pengakuan, Maqdir menyarankan agar aparat penegak hukum lebih memaksimalkan pemanfaatan teknologi dan metode penyelidikan ilmiah atau scientific crime investigation untuk mengungkap kebenaran dalam suatu perkara pidana. Ia meyakini bahwa dengan dukungan teknologi dan penyelidikan yang mendalam, penyidik dan penuntut umum dapat menghadirkan bukti-bukti yang kuat dan tidak terbantahkan, tanpa perlu bergantung pada pengakuan terdakwa.

"Jadi, gunanya teknologi sekarang ini, kan mestinya itu yang dimanfaatkan secara baik untuk menentukan orang itu bersalah atau tidak, bukan digantungkan kepada pengakuan ini tadi," pungkas Maqdir.

Dengan demikian, Ikadin mendesak agar pasal mengenai saksi mahkota dalam RUU KUHAP ditinjau ulang dan dihapuskan demi mencegah potensi penyalahgunaan wewenang dan memastikan proses peradilan yang lebih adil dan objektif.

Berikut poin yang disampaikan Maqdir Ismail:

  • Pasal 70 RUU KUHAP berpotensi penyalahgunaan wewenang.
  • Pengakuan terdakwa belum tentu jujur.
  • Aparat penegak hukum agar lebih memaksimalkan pemanfaatan teknologi.
  • Menghadirkan bukti-bukti yang kuat dan tidak terbantahkan.