Rabiah Al-Adawiyah: Sang Sufi Perempuan dan Kisah Cinta Ilahi yang Menginspirasi
Rabiah Al-Adawiyah: Ikon Cinta Ilahi dalam Sufisme
Rabiah Al-Adawiyah, seorang tokoh sufi perempuan yang lahir di Basrah pada tahun 713 Masehi, dikenal luas dalam sejarah Islam karena kedalaman cintanya kepada Allah SWT. Ia bahkan dijuluki "The Mother of The Grand Master," sebuah gelar yang mencerminkan pengaruhnya yang besar dalam dunia tasawuf.
Berbeda dengan pendekatan ibadah yang berorientasi pada imbalan surga atau menghindari siksa neraka, Rabiah Al-Adawiyah mengajarkan cinta yang tulus dan murni kepada Allah SWT. Baginya, cinta ilahi adalah tujuan utama, bukan sarana untuk mencapai sesuatu yang lain. Konsep mahabbah, atau cinta ilahi, menjadi inti ajaran tasawufnya, menginspirasi generasi demi generasi untuk mencari kedekatan dengan Tuhan melalui cinta yang mendalam.
Kehidupan Awal yang Penuh Ujian
Kehidupan Rabiah Al-Adawiyah diwarnai dengan berbagai cobaan sejak usia dini. Ia yatim piatu setelah kehilangan kedua orang tuanya dan ketiga kakaknya akibat wabah kelaparan yang melanda Basrah. Kondisi ini memaksanya untuk bertahan hidup seorang diri di tengah kesulitan. Ia sempat menjadi budak, tetapi kemudian memperoleh kebebasannya dan memilih untuk menjalani kehidupan yang sederhana dan kontemplatif.
Rabiah mengasingkan diri dari keramaian dunia, menghabiskan waktunya untuk beribadah dan bermeditasi. Ia hanya memiliki tikar tua, periuk tanah liat, dan sebongkah batu bata sebagai harta bendanya. Seluruh waktunya dicurahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui doa dan dzikir yang tak henti-hentinya. Ia benar-benar mengabdikan diri pada kehidupan akhirat, melepaskan segala keterikatan duniawi.
Ajaran Cinta: Al-Mahabbah
Ajaran tasawuf Rabiah Al-Adawiyah dikenal dengan sebutan Al-Mahabbah, sebuah konsep yang menekankan pentingnya cinta dalam hubungan antara manusia dan Tuhan. Mahabbah melampaui sekadar perasaan emosional; ia merupakan kecenderungan jiwa yang terus-menerus untuk mendekatkan diri kepada yang dicintai, dalam hal ini adalah Allah SWT. Cinta ini tidak didasari oleh kepentingan pribadi, melainkan oleh keinginan yang tulus untuk menyenangkan Sang Pencipta.
Rabiah Al-Adawiyah mengembangkan konsep zuhud (menjauhi kemewahan duniawi) yang sebelumnya diajarkan oleh Hasan Al-Basri. Ia menambahkan dimensi cinta ke dalam zuhud, menekankan bahwa rasa takut dan harapan seharusnya didasari oleh cinta sejati kepada Allah SWT. Baginya, cinta yang tulus dan murni kepada Allah SWT jauh lebih berharga daripada rasa takut akan neraka atau harapan akan surga.
Dalam sebuah kisah, Rabiah ditanya apakah dia mencintai Allah SWT. Ia menjawab dengan tegas, "Ya." Kemudian, ia ditanya apakah dia membenci setan. Rabiah menjawab, "Tidak, karena cintaku kepada Tuhan tidak menyisakan ruang dalam diriku untuk membenci setan."
Ia juga pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW, yang bertanya kepadanya, "Wahai Rabiah, apakah kamu mencintaiku?" Rabiah menjawab, "Wahai Rasulullah, siapa yang tidak mencintaimu? Namun cintaku kepada Sang Pencipta telah menyibukkan hatiku dari mencintai atau membenci makhluk lainnya."
Menolak Pernikahan Demi Cinta Ilahi
Rabiah Al-Adawiyah memilih untuk tidak menikah seumur hidupnya. Keputusan ini bukan semata-mata karena ia ingin menjauhi pernikahan, tetapi karena ia telah meninggalkan kecintaan pada dunia secara keseluruhan. Baginya, cinta kepada Allah SWT adalah yang utama dan tidak dapat dibagi dengan cinta kepada makhluk lain.
Keputusannya untuk tidak menikah didasari oleh pandangan mahabbah, yaitu cinta sepenuhnya kepada Allah SWT, sehingga segala sesuatu yang dicintai oleh-Nya menyatu dalam dirinya. Seluruh ibadah dan kehidupannya bukan didorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau harapan akan surga, melainkan murni karena cinta yang luar biasa mendalam kepada Allah SWT.