Gelombang Perampingan Melanda Pemerintah Federal AS: Ratusan Ribu Pegawai Terdampak
Pemerintahan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump kembali menjadi sorotan setelah dilaporkan telah mengurangi jumlah pegawai federal secara signifikan. Lebih dari seperempat juta pekerja telah meninggalkan dinas pemerintahan melalui berbagai mekanisme, termasuk pemutusan hubungan kerja (PHK), pensiun dini, dan skema buyout. Langkah ini menandai perubahan besar dalam lanskap ketenagakerjaan sektor publik AS.
Data terbaru dari Biro Statistik Tenaga Kerja (BLS) menunjukkan penurunan 8.500 pegawai federal non-pos pada bulan April 2025. Jika diakumulasikan sejak awal tahun, jumlah pengurangan mencapai lebih dari 23.000 orang. Angka ini belum termasuk pegawai layanan pos. Apabila seluruh sektor digabungkan, total pegawai federal sipil yang diberhentikan sepanjang tahun 2025 mencapai sekitar 26.000 orang.
Jumlah ini menjadikan pemerintahan Trump sebagai yang paling agresif dalam melakukan perampingan birokrasi sejak era Presiden Ronald Reagan. Sebagai perbandingan, Reagan memangkas sekitar 46.000 pegawai pada awal masa jabatannya tahun 1981. Gedung Putih mengklaim bahwa sekitar 200.000 pegawai federal telah diberhentikan sejak Trump menjabat, namun data resmi dari Departemen Efisiensi Pemerintahan (DOGE), yang dipimpin oleh Elon Musk, belum dipublikasikan.
Skema buyout pensiun dini menjadi salah satu cara utama dalam pengurangan tenaga kerja ini. Lebih dari 75.000 pegawai federal telah menyetujui skema ini, meskipun mereka masih menerima gaji hingga akhir tahun. Jika angka ini digabungkan dengan jumlah pegawai yang di-PHK dan pensiun dini secara reguler, totalnya melampaui 260.000 orang.
Perampingan besar-besaran ini tentu saja memiliki dampak sosial yang signifikan. Di Kansas City, Missouri, serikat pekerja National Treasury Employees Union (NTEU) bahkan mengadakan bursa kerja untuk membantu para mantan pegawai federal menemukan pekerjaan baru. Gelombang PHK dan pensiun dini ini memicu perdebatan sengit. Beberapa pihak memuji langkah ini sebagai upaya untuk mengurangi pemborosan anggaran dan meningkatkan efisiensi pemerintahan. Namun, pihak lain mengkritik keras dampak sosial yang ditimbulkan, serta potensi penurunan kualitas layanan publik akibat kekurangan tenaga kerja.
Berikut adalah beberapa potensi dampak dari perampingan ini:
- Penurunan Kualitas Layanan Publik: Kekurangan tenaga kerja dapat menyebabkan antrean panjang, penundaan proses administrasi, dan penurunan kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat.
- Peningkatan Beban Kerja Pegawai yang Tersisa: Pegawai yang masih bekerja harus menanggung beban kerja yang lebih berat, yang dapat menyebabkan burnout dan penurunan produktivitas.
- Dampak Ekonomi Lokal: PHK massal dapat berdampak negatif pada ekonomi lokal, terutama di daerah-daerah yang bergantung pada sektor publik.
- Hilangnya Keahlian dan Pengalaman: Pensiun dini dan PHK dapat menyebabkan hilangnya keahlian dan pengalaman berharga dari sektor publik.
Efisiensi anggaran pemerintah ini memicu beragam reaksi. Ada yang memuji langkah ini karena dianggap memangkas pemborosan, sementara yang lain mengecam dampaknya terhadap kesejahteraan sosial dan potensi penurunan mutu layanan publik yang dapat terjadi. Situasi ini terus berkembang dan dampaknya akan dirasakan dalam jangka panjang oleh berbagai sektor masyarakat AS.