Turbulensi Industri Manufaktur Indonesia: PMI Anjlok di Tengah Bayang-Bayang Perang Tarif dan Serangan Impor
Kinerja sektor manufaktur Indonesia mengalami penurunan signifikan, tertekan oleh kombinasi faktor global dan domestik. Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada April 2025 merosot tajam ke level 46,7, menandakan fase kontraksi dan menjadi titik terendah sejak Agustus 2021.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arief, mengungkapkan bahwa penurunan ini dipicu oleh ketidakpastian pasar yang diperparah oleh perang tarif internasional dan gelombang produk impor. Penurunan PMI yang mencapai 5,7 poin dibandingkan bulan sebelumnya mencerminkan penurunan kepercayaan diri di kalangan pelaku industri.
Faktor-faktor Pemicu Kemerosotan
- Perang Tarif: Kebijakan tarif yang diterapkan oleh Amerika Serikat memicu kekhawatiran di kalangan industri. Pelaku industri khawatir bahwa Indonesia akan menjadi sasaran limpahan produk dari negara-negara yang terkena dampak tarif tersebut.
- Serbuan Produk Impor: Banjir produk impor semakin memperburuk situasi, mengancam pangsa pasar industri dalam negeri.
- Ketidakpastian Hukum: Ketidakpastian kebijakan pemerintah membuat pelaku industri memilih untuk menunggu dan melihat (wait and see), menghambat investasi dan ekspansi.
Ekonom S&P Global Market Intelligence, Usamah Bhatti, menyoroti bahwa kontraksi ini merupakan yang pertama dalam lima bulan terakhir, didorong oleh penurunan tajam dalam penjualan dan output. Perusahaan-perusahaan dilaporkan mengurangi pembelian, tenaga kerja, dan stok barang jadi. Prospek jangka pendek juga suram karena perusahaan mengalihkan kapasitas untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda akibat kurangnya penjualan.
Dampak dan Respon Pemerintah
Penurunan PMI Manufaktur Indonesia sejalan dengan perlambatan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada April 2025, yang turun menjadi 51,90. Meskipun masih dalam fase ekspansi, laju pertumbuhan IKI melambat dibandingkan bulan sebelumnya.
Kemenperin menyatakan komitmennya untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi industri dalam negeri. Namun, Febri menekankan perlunya dukungan dari kementerian dan lembaga lain untuk menerbitkan kebijakan yang pro-investasi dan melindungi industri dalam negeri dari serbuan impor.
Pemerintah sedang berupaya untuk mengatasi masalah ini melalui negosiasi dengan pemerintah Amerika Serikat. Kepastian hukum melalui kebijakan pemerintah diharapkan dapat memulihkan kepercayaan diri pelaku industri dan mendorong pertumbuhan sektor manufaktur.
Perbandingan Regional
Penurunan PMI manufaktur Indonesia lebih dalam dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Filipina, misalnya, masih mencatat PMI manufaktur yang ekspansif karena dampak tarif AS tidak terlalu signifikan dan kebijakan perlindungan pasar dalam negerinya lebih afirmatif.
Negara-negara lain yang mengalami kontraksi PMI manufaktur pada April 2025 antara lain Thailand, Malaysia, Jepang, Jerman, Taiwan, Korea Selatan, Myanmar, dan Inggris. China, meskipun masih dalam fase ekspansi, mengalami perlambatan dibandingkan bulan sebelumnya.
Kondisi ini menuntut respons cepat dan efektif dari pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri dan memulihkan pertumbuhan sektor manufaktur.