Perbandingan Garis Kemiskinan: Perspektif Global versus Nasional di Indonesia
Menelisik Perbedaan Definisi Kemiskinan: Analisis Data Bank Dunia dan Standar Nasional
Diskursus mengenai kemiskinan selalu menjadi topik hangat, terutama dalam konteks pembangunan dan kesejahteraan suatu negara. Baru-baru ini, publikasi "Macro Poverty Outlook 2025" dari Bank Dunia kembali membuka perdebatan mengenai bagaimana seharusnya kemiskinan diukur dan dipahami. Laporan tersebut menyajikan proyeksi pertumbuhan ekonomi, data demografi, serta indikator kesejahteraan lainnya, termasuk tingkat kemiskinan yang dihitung berdasarkan tiga garis kemiskinan yang berbeda: international poverty rate, lower middle-income poverty rate, dan upper middle-income poverty rate.
Perbedaan signifikan terlihat dari penerapan garis kemiskinan yang berbeda. Misalnya, penggunaan international poverty line sebesar 2,15 dollar AS (PPP 2017) per hari menunjukkan penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia dari 8,5 persen pada tahun 2015 menjadi hanya 1,3 persen pada tahun 2024. Namun, angka ini memberikan gambaran yang kurang komprehensif jika dibandingkan dengan standar yang lebih relevan dengan status ekonomi Indonesia sebagai negara lower middle-income.
Jika menggunakan lower middle-income poverty line sebesar 3,65 dollar AS (PPP 2017) per hari, tingkat kemiskinan pada tahun 2015 adalah 38,4 persen, yang kemudian menurun menjadi 15,6 persen pada tahun 2024. Sementara itu, garis kemiskinan upper middle-income, yang ditetapkan sebesar 6,85 dollar AS (PPP 2017) per hari, menghasilkan angka kemiskinan yang jauh lebih tinggi, yaitu 76,9 persen pada tahun 2015 dan 60,3 persen pada tahun 2024.
Kontras dengan angka-angka tersebut, data kemiskinan nasional menunjukkan hasil yang berbeda. Pada September 2024, tingkat kemiskinan di Indonesia tercatat sebesar 8,6 persen, turun dari 11,1 persen pada tahun 2015. Garis kemiskinan nasional ditetapkan sebesar Rp 595.000 per kapita per bulan, dengan perbedaan antara wilayah perkotaan (Rp 616.000) dan perdesaan (Rp 567.000).
Mengapa Perbedaan Definisi Penting?
Perbedaan mencolok dalam angka kemiskinan ini menggarisbawahi pentingnya definisi yang digunakan. Bank Dunia menggunakan metode purchasing power parity (PPP) untuk menghitung garis kemiskinan, yang bertujuan untuk menyetarakan daya beli di berbagai negara. Dengan nilai tukar PPP sebesar Rp 4.756 per dollar AS pada tahun 2017, garis kemiskinan 6,85 dollar AS setara dengan sekitar Rp 977.358 per bulan. Setelah memperhitungkan inflasi dari tahun 2017 hingga 2024 (sekitar 18,2 persen), garis kemiskinan upper middle-income menjadi sekitar Rp 1.155.251 per bulan.
Angka ini hampir dua kali lipat dari garis kemiskinan nasional, yang menjelaskan mengapa terdapat perbedaan signifikan antara angka kemiskinan versi Bank Dunia dan versi nasional. Lebih dari separuh penduduk Indonesia berada di antara dua garis kemiskinan ini, menunjukkan bahwa sebagian besar populasi memiliki tingkat kesejahteraan di atas garis kemiskinan nasional, tetapi masih di bawah standar upper middle-income menurut Bank Dunia.
Kelompok ini sering kali disebut sebagai kelompok hampir miskin dan kelas menengah. Ironisnya, perhatian sering kali lebih terfokus pada kelompok miskin, sementara kelompok hampir miskin dan kelas menengah kurang mendapatkan perhatian yang sepadan. Padahal, data menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia berada dalam zona abu-abu ini, yang sangat dipengaruhi oleh definisi kemiskinan yang digunakan.
Implikasi Kebijakan
Perbedaan definisi kemiskinan ini memiliki implikasi penting bagi perumusan kebijakan. Jika hanya berfokus pada kelompok miskin berdasarkan standar nasional, ada risiko mengabaikan kebutuhan dan kerentanan kelompok hampir miskin dan kelas menengah. Oleh karena itu, diperlukan diskusi yang lebih mendalam mengenai bagaimana kita mendefinisikan dan mengukur kemiskinan, serta bagaimana kebijakan dapat dirancang untuk mencakup seluruh lapisan masyarakat yang rentan.
Memahami perbedaan antara garis kemiskinan internasional dan nasional sangat penting untuk mengevaluasi kemajuan pembangunan dan merumuskan kebijakan yang efektif. Diskursus yang berkelanjutan dan berbasis data diperlukan untuk memastikan bahwa upaya pengentasan kemiskinan benar-benar inklusif dan berkelanjutan.