Rekalibrasi UU ITE: MK Batasi Interpretasi untuk Lindungi Kebebasan Berekspresi Digital
Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan penting terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya Pasal 27A, Pasal 45 ayat (4), Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2). Putusan ini bertujuan untuk memperjelas batasan-batasan dalam UU ITE demi melindungi kebebasan berpendapat di era digital, sekaligus mencegah penyalahgunaan pasal-pasal karet yang berpotensi mengkriminalisasi kritik. Putusan MK ini tertuang dalam Putusan No. 105/PUU-XXII/2024.
Inti dari putusan MK adalah penegasan bahwa frasa "orang lain" dalam pasal-pasal terkait UU ITE hanya dapat ditafsirkan sebagai individu atau perseorangan, bukan institusi pemerintah, korporasi, atau kelompok dengan identitas spesifik lainnya. Dengan demikian, hanya individu yang merasa nama baiknya dicemarkan yang berhak melaporkan dugaan pelanggaran UU ITE. Penafsiran ini diharapkan dapat mengurangi potensi penyalahgunaan UU ITE oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan atau sumber daya untuk membungkam kritik.
Selain itu, MK juga mempersempit makna frasa "suatu hal" dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE. MK menyatakan bahwa "suatu hal" harus diartikan secara terbatas sebagai perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang. Penafsiran ini bertujuan untuk mencegah penafsiran yang terlalu luas dan subjektif terhadap pasal-pasal UU ITE, yang dapat mengancam kebebasan berekspresi.
MK juga menyoroti pentingnya unsur "tanpa hak" dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE. Unsur ini krusial untuk membedakan antara ekspresi yang sah dan ujaran kebencian yang melanggar hukum. MK menekankan bahwa profesi seperti wartawan, akademisi, dan advokat harus tetap memiliki ruang untuk menjalankan fungsi mereka tanpa takut dikriminalisasi, selama mereka tidak melampaui batas-batas konstitusional.
Putusan MK ini juga memberikan kerangka hukum yang lebih jelas dan terukur untuk membedakan antara kritik yang sah dan ujaran kebencian. Misalnya, seorang jurnalis yang menyebarkan informasi untuk kepentingan publik tidak dapat dipidana selama tidak melanggar ketentuan "tanpa hak". Hal ini sejalan dengan Pasal 28G UUD 1945 yang menjamin kebebasan berekspresi dan martabat setiap orang.
Implikasi dari putusan MK ini sangat signifikan bagi demokrasi digital di Indonesia. Dengan memperjelas batasan-batasan hukum, putusan ini diharapkan dapat mencegah penyalahgunaan UU ITE sebagai alat untuk membungkam kritik dan aspirasi masyarakat. Putusan ini juga menegaskan peran MK sebagai penjaga konstitusi dan pelindung hak asasi warga negara.
Namun, tantangan ke depan adalah bagaimana memastikan bahwa penafsiran MK ini benar-benar diinternalisasi oleh aparat penegak hukum dalam praktik. Sosialisasi dan edukasi mengenai putusan MK ini perlu dilakukan secara luas agar aparat penegak hukum memiliki pemahaman yang sama dan tidak lagi menggunakan UU ITE secara serampangan untuk mengkriminalisasi kritik.