Gugatan UU Kementerian Negara Terkait Rangkap Jabatan, Respon Santai Cak Imin

Polemik mengenai rangkap jabatan menteri yang juga menjabat sebagai ketua umum partai politik kembali mencuat. Menanggapi gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2024 tentang Kementerian Negara yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Muhaimin Iskandar, memberikan tanggapan singkat. Ia mempersilakan pihak-pihak yang merasa keberatan dengan aturan tersebut untuk menempuh jalur hukum.

"Ya silakan saja, silakan saja," ujar Muhaimin usai menghadiri sebuah acara di Kompleks Parlemen, Jakarta, menunjukkan sikap tidak terlalu khawatir dengan gugatan yang dilayangkan. Gugatan ini menyoroti Pasal 23 huruf c UU Kementerian Negara yang dinilai memberikan celah bagi ketua umum partai politik untuk menduduki posisi menteri dalam kabinet.

Saat ini, terdapat beberapa nama ketua umum partai politik yang juga menjabat sebagai menteri dalam pemerintahan. Selain Abdul Muhaimin Iskandar yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masayarakat, ada pula Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketua Umum Partai Demokrat yang mengemban amanah sebagai Menteri Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan. Zulkifli Hasan, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), juga menduduki kursi Menteri Koordinator Bidang Pangan. Keberadaan mereka dalam kabinet inilah yang menjadi sorotan utama dalam gugatan tersebut.

Gugatan ini sendiri diajukan oleh empat mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Mereka mempermasalahkan potensi konflik kepentingan dan berkurangnya efektivitas pengawasan (check and balances) antara lembaga eksekutif dan legislatif akibat rangkap jabatan tersebut. Para mahasiswa berpendapat bahwa rangkap jabatan dapat memicu praktik pragmatisme partai politik yang kurang sehat.

Dalam permohonannya ke MK, para mahasiswa meminta agar Pasal 23 huruf c Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mereka juga meminta agar pasal tersebut ditafsirkan secara bersyarat, yaitu mencakup pula pengurus atau fungsionaris partai politik, sehingga tidak hanya ketua umum saja yang dilarang rangkap jabatan.

Berikut adalah poin-poin yang dipermasalahkan dalam gugatan ini:

  • Potensi Konflik Kepentingan: Dikhawatirkan menteri yang juga merupakan ketua umum partai politik akan lebih memprioritaskan kepentingan partainya daripada kepentingan negara.
  • Berkurangnya Check and Balances: Rangkap jabatan dapat mengaburkan fungsi pengawasan parlemen terhadap eksekutif, karena ketua umum partai politik memiliki pengaruh kuat di kedua lembaga tersebut.
  • Pragmatisme Partai Politik: Rangkap jabatan dapat memicu praktik transaksional antara partai politik dan pemerintah, yang pada akhirnya merugikan masyarakat.

Menarik untuk disimak bagaimana MK akan menanggapi gugatan ini. Putusan MK akan memiliki implikasi yang signifikan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia, terutama terkait dengan hubungan antara partai politik dan pemerintah.