Polemik Pembatalan Mutasi Perwira Tinggi TNI: Isu Politik Mencuat di Balik Keputusan

Polemik Pembatalan Mutasi Perwira Tinggi TNI: Isu Politik Mencuat di Balik Keputusan

Keputusan pembatalan mutasi sejumlah perwira tinggi (Pati) di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) baru-baru ini memicu sorotan tajam dari berbagai kalangan. Pembatalan ini, khususnya terkait dengan Letnan Jenderal TNI Kunto Arief Wibowo, yang sebelumnya ditunjuk sebagai Staf Khusus Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) setelah menjabat sebagai Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I, menimbulkan berbagai spekulasi mengenai adanya intervensi politik di tubuh TNI.

Keputusan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang awalnya menerbitkan surat keputusan (SK) mutasi bagi ratusan perwira tinggi, mendadak direvisi sehari kemudian. Dalam revisi tersebut, nama Letjen Kunto Arief Wibowo beserta enam perwira tinggi lainnya dicoret dari daftar mutasi. Hal ini sontak memunculkan dugaan adanya tarik ulur kepentingan yang kuat di balik layar.

Isu mengenai "matahari kembar" kembali mencuat, mengingatkan pada masa transisi pemerintahan dari Presiden Joko Widodo ke Prabowo Subianto. Beberapa pihak berpendapat bahwa pembatalan mutasi ini semakin mengukuhkan adanya campur tangan politik dalam internal militer, dengan Prabowo Subianto diduga kuat menunjukkan otoritasnya sebagai presiden.

Bantahan dan Klarifikasi dari TNI

Menanggapi berbagai spekulasi yang beredar, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigjen Kristomei Sianturi, dengan tegas membantah adanya tekanan atau pengaruh dari pihak eksternal, terutama unsur politik, dalam proses pembatalan mutasi ini. Ia juga menepis anggapan bahwa pembatalan tersebut terkait dengan peran ayah Letjen Kunto, Try Sutrisno, dalam Forum Purnawirawan TNI-Polri yang menyerukan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

"Mutasi ini tidak terkait dengan apa pun di luar dari organisasi TNI. Jadi ini sesuai dengan profesionalitas, proporsionalitas, dan memang kebetulan organisasi di saat ini,” tegas Kristomei. Ia menambahkan bahwa keputusan tersebut telah melalui mekanisme resmi melalui sidang Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti).

Analisis Pengamat: Sinyal Kekuatan Presiden

Terlepas dari bantahan yang disampaikan oleh pihak TNI, sejumlah pengamat politik melihat pembatalan mutasi ini sebagai sinyal kuat dari Presiden Prabowo Subianto. Jamiluddin Ritonga, seorang pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, berpendapat bahwa Prabowo ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah pemegang kendali tertinggi. Ia menduga bahwa Prabowo menginginkan Letjen Kunto tetap menjabat sebagai Pangkogabwilhan I, sehingga TNI akhirnya membatalkan mutasi tersebut.

Jamiluddin juga menilai bahwa aroma politis dalam mutasi ini sangat terasa, mengingat kejadian ini terjadi tidak lama setelah deklarasi Forum Purnawirawan TNI-Polri yang menuntut pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Kebetulan, ayah Letjen Kunto, Try Sutrisno, adalah salah satu tokoh penting dalam forum tersebut. Selain itu, perwira yang dipersiapkan untuk menggantikan Kunto adalah Laksamana Muda Hersan, yang pernah menjabat sebagai ajudan Jokowi, ayah dari Gibran Rakabuming.

Reaksi DPR: TNI Jangan Terseret Politik

Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menyayangkan batalnya mutasi tujuh perwira tinggi TNI, termasuk Letjen Kunto. Ia menilai kejadian ini sebagai indikasi bahwa TNI rentan terhadap pengaruh politik. Hasanuddin menekankan bahwa proses mutasi perwira tinggi TNI seharusnya tidak dipengaruhi oleh pertimbangan politik.

"Mutasi prajurit aktif tidak seharusnya dipengaruhi oleh opini masyarakat sipil atau tekanan politik. Ini preseden buruk bagi profesionalisme TNI,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa keputusan mutasi harus didasarkan pada kebutuhan organisasi, bukan atas dasar permintaan pribadi.

Politikus PDI-P ini juga mengkritik kepemimpinan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang dinilainya kurang tegas dan konsisten dalam menjaga marwah institusi TNI. Menurutnya, perubahan SK yang cepat dan tidak konsisten dapat mengganggu stabilitas internal dan kepercayaan publik terhadap netralitas TNI.

  • Mutasi yang dibatalkan memicu polemik.
  • TNI membantah adanya intervensi politik.
  • Pengamat melihat adanya sinyal kekuatan presiden.
  • DPR mengingatkan agar TNI tidak terseret politik.