Menakar Kemiskinan: Antara Standar Global dan Realitas Lokal

Dalam diskusi mengenai kemiskinan, terutama setelah mencuatnya perbedaan data antara Bank Dunia dan pemerintah Indonesia, penting untuk memahami berbagai pendekatan dalam mengukur fenomena kompleks ini. Perbedaan angka kemiskinan ini memunculkan pertanyaan krusial mengenai relevansi garis kemiskinan nasional yang selama ini digunakan.

Dalam dunia akademis, perbedaan pendapat adalah hal yang wajar, asalkan didukung oleh argumentasi yang kuat. Diskusi terbuka diperlukan untuk mengevaluasi apakah standar yang ada sudah memadai atau perlu disesuaikan. Tulisan ini akan membahas dua pendekatan utama dalam mengukur kemiskinan: pendekatan moneter dan pendekatan non-moneter, serta implikasi dari masing-masing pendekatan tersebut.

Pendekatan Moneter: Mengukur Kemiskinan Melalui Pendapatan

Pendekatan moneter mengukur kemiskinan berdasarkan pendapatan atau pengeluaran individu atau rumah tangga. Dalam pendekatan ini, terdapat dua konsep utama:

  • Kemiskinan Absolut: Konsep ini mengacu pada garis kemiskinan absolut, yaitu batas minimum pendapatan atau pengeluaran yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar, baik makanan maupun non-makanan. Garis kemiskinan nasional Indonesia menggunakan pendekatan ini, dengan mengukur pengeluaran per kapita. Komponen makanan dihitung berdasarkan kebutuhan energi 2.100 kilokalori per kapita per hari, sedangkan komponen non-makanan disesuaikan dengan kondisi perkotaan dan perdesaan.

    Bank Dunia juga menggunakan pendekatan kemiskinan absolut untuk membandingkan kemiskinan antarnegara. Awalnya, Bank Dunia menggunakan standar 1 dollar AS per hari (berdasarkan Purchasing Power Parity/PPP tahun 1985), kemudian meningkat menjadi 1,9 dollar AS per hari (PPP tahun 2011), dan saat ini menggunakan 2,15 dollar AS per hari (PPP tahun 2017). Standar ini dihitung berdasarkan data dari negara-negara termiskin di dunia.

    Selain standar global, Bank Dunia juga menetapkan standar kemiskinan yang berbeda untuk negara-negara berpenghasilan menengah, yaitu 3,65 dollar AS per hari untuk lower middle-income countries dan 6,85 dollar AS per hari untuk upper middle-income countries. Hal ini dilakukan karena biaya hidup di negara-negara tersebut umumnya lebih tinggi.

  • Kemiskinan Relatif: Pendekatan ini membandingkan kondisi individu dengan individu lain dalam masyarakat. Seseorang dapat dianggap miskin jika kondisinya jauh di bawah rata-rata masyarakat, meskipun secara absolut ia mungkin tidak kekurangan kebutuhan dasar. Indikator yang umum digunakan adalah 50% atau 60% dari median pendapatan masyarakat (equivalized disposable income), yaitu pendapatan yang telah disesuaikan dengan bantuan sosial dan struktur rumah tangga.

    Pendekatan equivalized income mempertimbangkan bahwa biaya hidup rumah tangga tidak linear dengan jumlah anggota keluarga. Misalnya, biaya hidup dua orang dewasa tidak selalu dua kali lipat biaya hidup satu orang dewasa.

    Negara-negara Eropa umumnya menggunakan pendekatan kemiskinan relatif karena dianggap lebih relevan untuk mengukur inklusi sosial dan kesetaraan kesempatan. OECD menggunakan garis kemiskinan sebesar 50% dari median pendapatan, dan tingkat kemiskinan di negara-negara OECD bervariasi antara 6,4% hingga 20,3% (data tahun 2021).

Implikasi dan Interpretasi

Setiap pendekatan pengukuran kemiskinan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Oleh karena itu, interpretasi hasil pengukuran harus dilakukan dengan hati-hati. Penting juga untuk tidak melupakan kelompok masyarakat yang berada di luar kategori miskin, seperti kelompok hampir miskin dan kelas menengah, karena mereka juga rentan terhadap guncangan ekonomi.

Perdebatan mengenai standar kemiskinan yang tepat perlu terus dilakukan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil relevan dengan kondisi masyarakat dan mampu mengatasi masalah kemiskinan secara efektif.