Kontroversi Pendidikan Karakter Berbasis Militer: Efektifkah untuk Siswa Bermasalah?
Gagasan pendidikan karakter dengan pendekatan militeristik bagi siswa yang dianggap bermasalah kembali mencuat, memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat. Di Jawa Barat, puluhan siswa SMP yang dinilai sulit diatur oleh pihak sekolah dan keluarga dikirim ke lingkungan militer untuk menjalani pembinaan. Langkah ini, yang digagas oleh Pemerintah Provinsi, menuai pro dan kontra dari berbagai pihak.
Secara sepintas, program ini mungkin tampak sebagai solusi cepat untuk menanamkan disiplin dan membentuk karakter yang kuat. Namun, sejumlah pakar pendidikan, hukum, dan perlindungan anak justru mengkhawatirkan dampaknya. Mereka menilai pendekatan ini berpotensi melanggar hak-hak anak dan bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan yang humanis dan demokratis.
Perspektif Hukum dan Pendidikan
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional secara jelas menyatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik secara holistik, meliputi aspek keimanan, ketakwaan, akhlak mulia, kesehatan, ilmu pengetahuan, keterampilan, kreativitas, kemandirian, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Pendekatan pendidikan yang mengedepankan kekerasan, paksaan, atau subordinasi ala militer dinilai tidak sejalan dengan tujuan tersebut. Pendidikan karakter yang sejati seharusnya merupakan proses pedagogis yang menekankan pada pengembangan potensi individu, bukan sekadar indoktrinasi atau penghukuman.
Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia juga menegaskan hak setiap anak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan terlindungi dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Pendekatan militeristik terhadap siswa bermasalah justru berisiko memperparah trauma dan stigmatisasi sosial. Komnas Perlindungan Anak pun telah berulang kali mengingatkan bahwa pendidikan berwatak militer hanya dapat dilakukan dengan standar etik dan pengawasan ketat, dan tidak boleh dijadikan sebagai hukuman atau pemidanaan sosial.
Legitimasi Peran TNI dan Polri
Peran TNI dan Polri dalam program pendidikan karakter ini juga menimbulkan pertanyaan. Undang-Undang TNI membatasi operasi militer selain perang hanya dapat dilakukan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Kerja sama TNI dalam urusan pendidikan sipil, apalagi terhadap anak bermasalah, memerlukan dasar hukum yang jelas, pengawasan DPR, dan transparansi publik. Hal serupa berlaku untuk Polri, yang memiliki peran utama dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan sebagai aktor utama pendidikan.
Tanpa dasar hukum yang kuat, program ini berpotensi dianggap inkonstitusional dan menyimpang dari prinsip supremasi sipil atas militer yang menjadi fondasi reformasi.
Kritik Sosiologis dan Alternatif Pendekatan
Kebijakan ini juga mengundang kritik dari sudut pandang sosiologis. Menganggap siswa "nakal" sebagai ancaman sosial yang perlu "dibersihkan sementara" ke lingkungan keras merupakan pendekatan yang menghukum, bukan mendidik. Alih-alih memperbaiki perilaku, hal ini justru dapat memicu resistensi, luka psikologis, dan pengulangan tindakan menyimpang.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang dianggap bermasalah seringkali berasal dari latar belakang keluarga yang disfungsional, menjadi korban kekerasan domestik, atau mengalami ketimpangan sosial ekonomi. Mereka seharusnya dirangkul oleh sistem pendidikan inklusif, bukan diasingkan ke tempat dengan disiplin militer yang kaku.
Psikolog perkembangan menekankan bahwa masa remaja adalah fase pencarian identitas, bukan fase penghukuman identitas. Pendekatan militer justru dapat memperburuk krisis identitas dan memposisikan mereka semakin terpinggirkan dalam masyarakat.
Sebagai alternatif, pendekatan berbasis keadilan restoratif (restorative justice) dan pembelajaran sosial-emosional (social emotional learning) telah terbukti efektif di banyak negara. Model ini melibatkan guru, konselor, keluarga, dan komunitas dalam menyelesaikan masalah siswa secara dialogis, damai, dan membangun kembali kepercayaan diri anak.
Beberapa sekolah telah menerapkan pendekatan mediasi antara guru dan siswa, serta konseling intensif bagi anak yang mengalami masalah perilaku. Hasilnya, terjadi penurunan konflik dan peningkatan ketahanan psikologis siswa.
Investasi yang lebih tepat adalah memperkuat kapasitas guru, menyediakan layanan konseling, membangun sistem pendampingan keluarga, dan mendirikan pusat pemulihan perilaku anak berbasis komunitas.
Pendidikan sebagai Hak, Bukan Eksperimen
Pendidikan adalah hak anak, bukan instrumen kekuasaan. Jika barak militer dijadikan solusi atas permasalahan anak di sekolah, maka kita tengah mundur jauh ke masa lalu pendidikan yang tidak demokratis.
Pemerintah seharusnya kembali pada nilai-nilai Pancasila, khususnya kemanusiaan yang adil dan beradab. Pendidikan harus menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, bukan menundukkan mereka dengan kekuatan yang menakutkan.