DPR Soroti Disparitas Anggaran: PTN dan Sekolah Kedinasan dalam Timbangan Keadilan Fiskal

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia menyoroti adanya ketidakseimbangan signifikan dalam alokasi anggaran antara Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Kementerian/Lembaga (PTKL), yang lebih dikenal sebagai sekolah kedinasan. Kritik ini muncul di tengah upaya peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan tinggi di Indonesia.

Wakil Ketua DPR, Cucun Ahmad Syamsurijal, mengungkapkan keprihatinannya terkait disparitas anggaran tersebut. Menurutnya, PTN-PTN besar seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjadjaran (Unpad), dan Universitas Gadjah Mada (UGM), yang menampung puluhan ribu mahasiswa, menerima alokasi anggaran yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan PTKL. Beberapa PTKL bahkan menerima anggaran hingga lebih dari Rp500 miliar per institusi, meskipun jumlah mahasiswanya jauh lebih sedikit. Kondisi ini dianggap menciderai prinsip keadilan fiskal dalam sektor pendidikan tinggi.

"Kita melihat ada ketidakadilan yang nyata dalam alokasi anggaran ini. PTN dengan jumlah mahasiswa yang besar seharusnya mendapatkan alokasi yang proporsional. Sementara PTKL, dengan jumlah mahasiswa yang relatif sedikit, menerima anggaran yang sangat besar," ujar Cucun.

Guna menindaklanjuti temuan ini, Komisi X DPR RI telah membentuk Panitia Kerja (Panja) PTKL. Panja ini bertugas untuk mengkaji secara mendalam akar permasalahan ketimpangan anggaran tersebut dan memberikan rekomendasi solusi yang komprehensif. Diharapkan, Panja PTKL dapat menghasilkan kebijakan yang lebih adil dan proporsional dalam alokasi anggaran pendidikan tinggi.

Anggota Komisi X dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Ledia Hanifa Amaliah, sebelumnya juga telah menyuarakan keprihatinan serupa. Ia menyoroti bahwa biaya operasional per mahasiswa di PTN hanya sekitar Rp14 juta per tahun, sementara di beberapa sekolah kedinasan, biaya tersebut jauh lebih tinggi. Ledia menjelaskan bahwa perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

  • Jumlah mahasiswa yang terbatas di sekolah kedinasan.
  • Sistem berasrama yang diterapkan di sebagian besar sekolah kedinasan.
  • Peniadaan biaya pendidikan bagi mahasiswa sekolah kedinasan.

Faktor-faktor ini menyebabkan biaya pendidikan per mahasiswa per tahun di sekolah kedinasan menjadi lebih mahal dibandingkan dengan PTN. Namun, Ledia menekankan bahwa alokasi anggaran untuk sekolah kedinasan seharusnya tidak diambil dari fungsi pendidikan, melainkan dari anggaran kementerian/lembaga masing-masing.

Mantan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) periode 2014-2019, Mohamad Nasir, juga pernah menyoroti ketimpangan pembiayaan pendidikan tinggi antara Kemendikbudristek dan kementerian/lembaga (K/L) lain. Berdasarkan studi yang dilakukan bersama KPK RI pada tahun 2017, alokasi anggaran perguruan tinggi di Kemendikbudristek hanya sebesar Rp7 triliun, sementara perguruan tinggi kedinasan di K/L lain mencapai Rp32 triliun.

"Ketimpangan pembiayaan ini sangat tidak rasional. Anggaran untuk PTN di bawah Kemendikbud jauh lebih kecil dibandingkan dengan anggaran sekolah kedinasan di bawah K/L lain," tegas Nasir.

Dengan adanya sorotan dari DPR dan berbagai pihak terkait, diharapkan pemerintah dapat segera mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi ketimpangan anggaran antara PTN dan sekolah kedinasan. Keadilan fiskal dalam pendidikan tinggi merupakan kunci untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing, serta untuk mewujudkan pemerataan kesempatan pendidikan bagi seluruh masyarakat Indonesia.