Jejak Intelijen VOC di Lasem: Misteri Makam Mbah Galio di Jalur Pantura

Di tengah ramainya lalu lintas Jalur Pantai Utara (Pantura) yang membelah Lasem, Rembang, Jawa Tengah, sebuah makam sederhana menyimpan misteri yang belum terpecahkan. Makam yang dikenal sebagai makam Mbah Galio atau Mbah Sedandang ini, diyakini oleh sebagian masyarakat sebagai peristirahatan terakhir seorang agen rahasia atau intelijen pada masa pemerintahan VOC.

Makam ini terletak strategis di utara Jalur Pantura, tepatnya di Dukuh Caruban, Desa Gedongmulyo, Lasem, dekat dengan Sungai Kiringan. Meskipun tampak tidak mencolok dengan cungkup kayu sederhana dan naungan pohon tua, keberadaannya membangkitkan rasa ingin tahu tentang sejarah perlawanan terhadap kolonialisme di Lasem.

Menurut Ernantoro, Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Sejarah (Forkmas) Lasem, Mbah Galio bukanlah tokoh sembarangan. Dalam tradisi lisan masyarakat Lasem, ia dikenal sebagai orang kepercayaan Raden Panji Margono, pemimpin perlawanan dalam Perang Kuning melawan VOC pada abad ke-18. Mbah Galio diyakini bukan hanya sebagai pengawal, tetapi juga sebagai mata-mata ulung yang memberikan informasi penting untuk mengatur strategi perang.

Kemampuan Mbah Galio dalam menyamar sangat dikagumi. Ia mampu berbaur dengan masyarakat biasa tanpa menimbulkan kecurigaan. Kesederhanaannya dan kemisteriusannya membuatnya dijuluki Mbah Sedandang, karena ia selalu membawa dandang (alat pengukus nasi tradisional) dan berpakaian seperti rakyat jelata. Keberadaannya yang sering muncul tiba-tiba di berbagai tempat semakin menguatkan anggapan bahwa ia adalah seorang intelijen.

Perang Kuning merupakan peristiwa penting dalam sejarah perlawanan masyarakat Lasem terhadap kolonialisme Belanda. Dipimpin oleh Raden Panji Margono, perang ini melibatkan jaringan perlawanan rakyat yang tersebar di seluruh desa. Meskipun banyak tokoh penting yang gugur dan jejaknya terkubur oleh waktu, ingatan tentang mereka tetap hidup dalam memori kolektif masyarakat Lasem.

Walaupun tidak tercatat dalam arsip resmi kolonial, makam Mbah Galio tetap dihormati oleh warga sekitar. Beberapa orang menganggap tempat ini angker, tetapi Ernantoro menjelaskan bahwa anggapan tersebut tidak benar. Forkmas Lasem saat ini sedang mengusulkan agar situs makam Mbah Galio dijadikan cagar budaya lokal sebagai upaya untuk melestarikan sejarah lisan yang masih hidup di tengah masyarakat. Upaya ini dilakukan agar kisah keberanian, pengabdian, dan misteri Mbah Galio tetap dikenang oleh generasi mendatang.

Di tengah hiruk pikuk lalu lintas dan debu jalanan Pantura, makam Mbah Galio berdiri sebagai simbol bisu tentang masa lalu Lasem yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan. Kisahnya menjadi pengingat akan pentingnya melestarikan sejarah lokal dan menghormati para pahlawan yang telah berjuang demi kemerdekaan.