Produsen Bauksit Nasional Tercekik: Smelter Asing Abaikan Harga Patokan Mineral

Industri bauksit dalam negeri tengah menghadapi tantangan serius akibat ketidakpatuhan sejumlah smelter, khususnya yang dimiliki investor asing asal Tiongkok, terhadap Harga Patokan Mineral (HPM) yang ditetapkan pemerintah. Kondisi ini memaksa banyak pengusaha tambang bauksit lokal untuk menghentikan operasional produksi mereka.

Ronald Sulistyanto, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I), mengungkapkan bahwa dari total 69 perusahaan tambang bauksit yang terdata, saat ini hanya sekitar 15 hingga 20 perusahaan saja yang masih mampu bertahan. Mayoritas perusahaan yang masih beroperasi adalah mereka yang memiliki skala produksi besar. Sementara itu, perusahaan tambang kecil terpaksa menekan biaya operasional seminimal mungkin, sekadar untuk menjaga agar mesin tetap berfungsi dan karyawan tidak kehilangan pekerjaan.

"Banyak perusahaan yang hanya mampu bertahan hidup, menjaga agar mesin produksi tidak berkarat dan menghindari pemutusan hubungan kerja," ujar Ronald.

Situasi ini diperparah dengan adanya larangan ekspor bijih bauksit mentah sejak 11 Juni 2023. Kebijakan ini memaksa para penambang untuk menjual hasil produksinya ke smelter dalam negeri. Ironisnya, sebagian besar smelter tersebut justru dimiliki oleh investor asal Tiongkok melalui skema Penanaman Modal Asing (PMA) dan tidak mematuhi HPM yang telah ditetapkan.

"Hampir semua smelter milik investor Tiongkok belum menerapkan HPM," tegas Ronald.

Ia menambahkan, hanya segelintir smelter yang memberikan harga mendekati HPM, salah satunya adalah PT Well Harvest Winning (WHW) Alumina Refinery, perusahaan patungan antara China Hongqiao Group, PT Cita Mineral Investindo Tbk (Harita Group), Winning Investment (HK), dan Shandong Weiqiao Aluminium & Electricity.

"WHW memberikan sedikit kelonggaran harga, tetapi smelter lain tampaknya masih membeli dengan harga di bawah HPM," imbuhnya.

Harga Patokan Mineral (HPM) sendiri ditetapkan sebagai acuan transaksi di dalam negeri dengan tujuan untuk mencegah penjualan mineral mentah dengan harga yang terlalu rendah. Namun, lemahnya pengawasan disinyalir menjadi penyebab utama ketidakpatuhan terhadap regulasi ini.

"Regulasi terkait HPM lemah dalam hal pengawasan," kata Ronald.

Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 72.K/MB.01/MEM.B/2025, HPM diperbarui dua kali dalam sebulan dan perhitungannya mengacu pada Harga Mineral Acuan (HMA). Ronald menekankan bahwa pemerintah seharusnya fokus pada pengawasan kepatuhan terhadap HPM.

"Persoalan utama saat ini, khususnya untuk bauksit, adalah bagaimana cara memastikan HPM ditaati," tegasnya.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Bisman Bachtiar, menilai bahwa larangan ekspor telah memperlemah posisi tawar pengusaha tambang bauksit karena mereka tidak memiliki alternatif pasar.

Bisman juga menekankan pentingnya percepatan pembangunan smelter dan industri aluminium berbasis bauksit seiring dengan implementasi hilirisasi industri bauksit.

"Pasar domestik yang terbatas menyebabkan harga jatuh. Pemerintah harus mendorong percepatan pengembangan smelter bauksit dan pembangunan industri turunan berbasis bauksit," pungkasnya.