Eksploitasi Sumber Daya Alam Ancam Kelestarian Hutan Kalimantan Tengah: Studi Walhi Ungkap Dampak Industrialisasi
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah (Kalteng) mengungkapkan temuan yang mengkhawatirkan terkait kondisi lingkungan di provinsi tersebut. Berdasarkan kajian dan pemantauan yang dilakukan, terungkap bahwa 68% wilayah Kalteng telah dieksploitasi untuk kegiatan industri ekstraktif skala besar berbasis sumber daya alam (SDA).
Studi yang dilakukan Walhi Kalteng melibatkan analisis data dan monitoring terhadap 14 perusahaan yang beroperasi di enam kabupaten. Perusahaan-perusahaan tersebut bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan pertambangan batu bara. Hasilnya menunjukkan bahwa ekspansi industri telah menyebabkan deforestasi yang signifikan dan kerusakan lingkungan yang berkelanjutan.
Kerusakan Lingkungan Akibat Industri Ekstraktif
Berkurangnya tutupan hutan menyebabkan penurunan daya dukung dan daya tampung lahan serta sungai. Walhi Kalteng menyoroti bahwa banyak izin perkebunan sawit yang dikeluarkan berada di kawasan hutan, melanggar prinsip tata kelola yang baik. Di sektor HTI, izin lokasi seringkali diberikan di atas hutan alam yang seharusnya dilindungi.
"Jika ini terus berlanjut, potensi deforestasi akan tinggi dan menyebabkan kerusakan serta pencemaran lingkungan," ujar Janang Firman, Manajer Advokasi, Kampanye, dan Kajian Walhi Kalteng.
Dampak Nyata: Bencana Ekologis dan Konflik Agraria
Data Walhi Kalteng tahun 2023 menunjukkan bahwa 10.494.867,07 hektar atau 68% dari total luas Provinsi Kalteng merupakan konsesi industri ekstraktif. Analisis spasial terhadap tutupan lahan periode 2019-2022 mengungkap perubahan signifikan menjadi perkebunan sawit seluas 51.026 hektar dengan deforestasi sebesar 7.397 hektar di 158 konsesi. Sektor HTI mengalami perubahan tutupan seluas 13.170 hektar dengan deforestasi 8.384 hektar di 35 konsesi. Sementara itu, pertambangan batubara menyebabkan deforestasi seluas 5.013 hektar yang tersebar di 130 konsesi.
Perubahan tutupan lahan ini berkontribusi pada peningkatan frekuensi dan intensitas bencana ekologis seperti kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta banjir. Bencana ini berulang kali terjadi, termasuk pada tahun 2024 yang melanda hampir seluruh wilayah Kalteng, terutama di Barito Utara, Murung Raya, Barito Selatan, Kapuas, dan Pulang Pisau.
Selain itu, ekspansi industri ekstraktif memicu konflik agraria yang terus meningkat. Selama periode 2015-2023, tercatat 349 kasus konflik antara masyarakat dan perkebunan sawit di Kabupaten Seruyan, Kotawaringin Barat, dan Kotawaringin Timur.
Perlunya Pembenahan Tata Kelola SDA
Walhi Kalteng mendesak pemerintah untuk segera melakukan pembenahan terhadap tata kelola sumber daya alam di Kalteng. Tata kelola sumber daya alam yang tidak tepat berpotensi menimbulkan dampak yang sangat buruk bagi masyarakat.
"Jangan sampai di kemudian hari, kekayaan alam Kalteng berubah menjadi kutukan bagi masyarakatnya sendiri," tegas Janang.