Perbedaan Metode Pengukuran Kemiskinan: Analisis Perbandingan BPS dan Bank Dunia

Perbedaan Metode Pengukuran Kemiskinan: Analisis Perbandingan BPS dan Bank Dunia

Perhitungan garis kemiskinan di Indonesia menimbulkan pertanyaan terkait perbedaan signifikan antara data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan perhitungan yang digunakan oleh Bank Dunia. Garis kemiskinan, secara umum, merepresentasikan tingkat pengeluaran minimum yang diperlukan individu untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk makanan dan non-makanan.

Menurut data BPS per September 2024, jumlah penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah 24,06 juta jiwa, atau sekitar 8,57% dari total populasi. Sementara itu, perhitungan Bank Dunia menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi, yaitu 171,8 juta jiwa atau sekitar 60,3% dari total penduduk Indonesia.

Penjelasan Perbedaan Metode

Perbedaan mencolok ini mendorong analisis mendalam terhadap metodologi yang digunakan oleh kedua lembaga. BPS menjelaskan bahwa perbedaan angka tersebut tidak saling bertentangan karena adanya perbedaan standar dan tujuan pengukuran kemiskinan.

Bank Dunia menggunakan tiga pendekatan standar garis kemiskinan untuk memantau pengentasan kemiskinan secara global dan membandingkan tingkat kemiskinan antar negara, yaitu:

  • International Poverty Line: Mengukur kemampuan daya beli dalam bentuk pengeluaran per kapita untuk menghitung tingkat kemiskinan ekstrem, yaitu $2,15 per kapita per hari.
  • Pengeluaran per kapita $3,65 per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income).
  • Pengeluaran per kapita $6,85 per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income).

Standar tersebut menggunakan dollar AS PPP (Purchasing Power Parity), sebuah metode konversi yang menyesuaikan daya beli antar negara. Pada tahun 2024, setiap $1 AS PPP setara dengan Rp 5.993.

Angka 60,3% yang dirilis Bank Dunia diperoleh dari estimasi tingkat kemiskinan menggunakan standar $6,85 dollar AS PPP, yang disusun berdasarkan median garis kemiskinan 37 negara berpendapatan menengah atas, bukan berdasarkan kebutuhan dasar penduduk Indonesia secara spesifik.

Bank Dunia merekomendasikan agar setiap negara menghitung garis kemiskinan nasional (National Poverty Line) yang disesuaikan dengan karakteristik serta kondisi ekonomi dan sosial masing-masing negara. BPS mencatat bahwa Indonesia saat ini berada dalam kategori negara berpendapatan menengah atas dengan Gross National Income (GNI) per kapita $4.870 pada tahun 2023, namun posisinya baru naik kelas dan sedikit di atas batas bawah kategori tersebut.

Jika standar kemiskinan global Bank Dunia diterapkan, hasilnya akan menunjukkan jumlah penduduk miskin yang sangat tinggi dan berbeda signifikan dengan data BPS.

Metode Penghitungan BPS

BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (Cost of Basic Needs/CBN) untuk mengukur garis kemiskinan Indonesia. Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, yang disusun dari komoditas umum seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur. Komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.

Garis kemiskinan BPS dihitung berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang mengumpulkan informasi tentang pengeluaran dan pola konsumsi masyarakat. Susenas dilaksanakan dua kali setahun, dengan cakupan 345.000 rumah tangga pada bulan Maret dan 76.310 rumah tangga pada bulan September.

Pengukuran dilakukan pada tingkat rumah tangga karena pengeluaran dan konsumsi umumnya terjadi secara kolektif. Oleh karena itu, garis kemiskinan BPS mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia. Penghitungan dan rilis angka garis kemiskinan BPS dilakukan secara rinci berdasarkan wilayah, membedakan antara perkotaan dan perdesaan.

Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita tercatat Rp 595.242 per bulan. Dengan rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 anggota, garis kemiskinan untuk satu rumah tangga secara rata-rata nasional adalah Rp 2.803.590 per bulan.

Garis kemiskinan bervariasi di setiap provinsi. Contohnya, di DKI Jakarta mencapai Rp 4.238.886, di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar Rp 3.102.215, dan di Lampung sebesar Rp 2.821.375. Perbedaan ini mencerminkan perbedaan tingkat harga, standar hidup, dan pola konsumsi di setiap daerah.

BPS menekankan bahwa garis kemiskinan adalah angka rata-rata yang tidak memperhitungkan karakteristik individu seperti usia, jenis kelamin, atau jenis pekerjaan. Secara mikro, angka ini tidak bisa langsung diartikan sebagai batas pengeluaran per orang. Pendekatan yang lebih tepat adalah melihat garis kemiskinan rumah tangga untuk memahami kondisi sosial ekonomi rumah tangga tersebut.