UU BUMN 2025: Kewenangan KPK Menjerat Direksi BUMN di Ujung Tanduk?
UU BUMN 2025: Mungkinkah KPK Kehilangan Taji dalam Menindak Korupsi di BUMN?
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang akan berlaku efektif pada 24 Februari 2025, menimbulkan kekhawatiran serius terhadap kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi di lingkungan BUMN. Pasal-pasal krusial dalam UU tersebut berpotensi menghalangi KPK untuk menjerat direksi BUMN yang terlibat tindak pidana korupsi.
Inti permasalahan terletak pada definisi "penyelenggara negara". UU BUMN secara eksplisit menyatakan bahwa organ dan pegawai BUMN, termasuk anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas, tidak dianggap sebagai penyelenggara negara. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang KPK yang memberikan mandat kepada lembaga anti-rasuah tersebut untuk mengusut tuntas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara.
Berikut adalah poin-poin krusial dalam UU BUMN yang menjadi perhatian:
- Pasal 3X Ayat (1): "Organ dan pegawai Badan bukan merupakan penyelenggara negara."
- Pasal 9G: "Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara."
Ketiadaan status "penyelenggara negara" pada jajaran direksi BUMN akan menjadi celah hukum yang signifikan. Pakar hukum tata negara, Feri Amsari, mengkhawatirkan bahwa hal ini akan mempersulit penindakan korupsi di BUMN. Ia menilai bahwa pasal-pasal semacam ini berpotensi melegalisasi praktik korupsi di perusahaan-perusahaan pelat merah, mengingat besarnya potensi penyimpangan yang ada.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Budi Fresidy, berpendapat bahwa pelaku korupsi tetap harus ditindak tanpa memandang status mereka. Ia menekankan perlunya aturan yang jelas mengenai business judgement rule dalam UU BUMN. Aturan ini akan melindungi direksi dari kriminalisasi akibat keputusan bisnis yang wajar, namun tidak akan melindungi mereka jika terbukti melakukan korupsi untuk keuntungan pribadi atau kelompok.
Budi menambahkan, penindakan terhadap korupsi tidak harus selalu dilakukan oleh KPK. Aparat penegak hukum lain dan lembaga yudikatif juga memiliki wewenang untuk memproses kasus korupsi yang melibatkan direksi BUMN.
Menanggapi polemik ini, KPK menyatakan akan melakukan kajian mendalam terhadap UU BUMN. Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menjelaskan bahwa kajian ini bertujuan untuk memahami dampak aturan baru tersebut terhadap kewenangan KPK dalam menangani kasus korupsi di BUMN.
KPK menyadari bahwa sebagai pelaksana undang-undang, mereka wajib menjalankan aturan yang berlaku. Namun, KPK juga akan memberikan masukan kepada pemerintah terkait upaya pemberantasan korupsi dan potensi perbaikan yang diperlukan dalam UU BUMN. Kajian ini menjadi penting dalam konteks upaya Presiden Prabowo Subianto untuk meminimalisasi kebocoran anggaran dan memperkuat pemberantasan korupsi di Indonesia.