Harmonisasi Kepentingan: Meninjau Kembali Praktik Pertambangan dan Dampaknya pada Daerah

Sektor pertambangan di Indonesia, kaya akan sumber daya alam, telah lama menjadi incaran investor, baik domestik maupun internasional. Dari era penjajahan hingga kini, industri ini memegang peranan krusial dalam perekonomian nasional. Komoditas yang dieksplorasi pun beragam, mulai dari minyak dan gas hingga nikel, yang semakin populer seiring perkembangan teknologi.

Secara makroekonomi, pertambangan menyumbang kontribusi signifikan terhadap PDB, penerimaan negara, penyerapan tenaga kerja, dan devisa. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa pertambangan dan penggalian menyumbang 9,15% terhadap PDB Indonesia, menjadi salah satu dari lima sektor utama yang mendominasi perekonomian.

Namun, di balik gemerlap angka-angka makro, realitas di lapangan seringkali berbeda. Pemerintah daerah dan masyarakat setempat kerap memandang praktik pertambangan dengan skeptisisme, bahkan kemarahan. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa sektor pertambangan lebih didominasi oleh kepentingan pemerintah pusat, sehingga perusahaan tambang dianggap sebagai perpanjangan tangan kepentingan ekonomi-politik pusat.

Perusahaan tambang seringkali terkesan hanya berfokus pada urusan dengan pemerintah pusat, mengabaikan kepentingan dan kebutuhan daerah. Padahal, prinsip good mining practice mengharuskan perusahaan untuk memprioritaskan konteks lokal. Sumber daya alam yang dieksploitasi berasal dari daerah, dan dampak eksternalitas dari aktivitas pertambangan, seperti kerusakan lingkungan dan masalah sosial-ekonomi, akan ditanggung oleh daerah.

Ketidakramahan perusahaan tambang terhadap kepentingan lokal seringkali terlihat dalam praktik sehari-hari. Di berbagai daerah, perusahaan tambang terkesan enggan berkomunikasi dan melibatkan pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan strategis. Padahal, pemerintah daerah dan masyarakat setempat seharusnya menjadi stakeholder yang diajak bicara, terutama terkait kontribusi nyata perusahaan kepada daerah dan etika sosial-kontekstual perusahaan.

Ironisnya, perusahaan tambang seringkali memanfaatkan cadangan sumber daya alam di daerah untuk meningkatkan valuasi saham dan menggalang dana di pasar modal, tanpa melibatkan daerah dalam proses tersebut. Praktik ini dianggap kurang etis dan logis secara finansial, mengingat sumber daya alam tersebut berada di wilayah dan di bawah kendali masyarakat daerah.

Perusahaan tambang yang melakukan eksplorasi di daerah seringkali kurang ramah terhadap pemerintah daerah dan tidak sensitif terhadap kebutuhan masyarakat setempat. Program CSR yang dirumuskan dari kantor pusat seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan daerah, dan sistem rekrutmen kurang memperhatikan potensi sumber daya manusia lokal.

Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, mengusulkan dua ide penting untuk mengatasi masalah ini, yaitu mendorong pembentukan "forum CSR" di tingkat daerah dan mewajibkan perusahaan untuk mengomunikasikan kebutuhan SDM kepada daerah. Gagasan ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perusahaan tambang, serta memastikan bahwa daerah mendapatkan manfaat yang optimal dari aktivitas pertambangan.

Di Dompu, misalnya, meskipun triliunan rupiah telah digelontorkan selama masa eksplorasi, tidak ada yang mengetahui secara pasti berapa banyak dana CSR yang dikeluarkan oleh perusahaan dan dalam bentuk apa saja. Komposisi SDM yang digunakan oleh perusahaan juga tidak diketahui, sehingga sulit untuk menilai apakah perusahaan telah memaksimalkan penyerapan tenaga kerja lokal.

Ketika pemerintah daerah atau masyarakat setempat berusaha membuka jalur komunikasi untuk mendapatkan informasi tersebut, tingkat kesulitannya sangat tinggi. Jawaban dari perusahaan seringkali tertunda karena alasan koordinasi dengan kantor pusat, sementara aktivitas perusahaan terus berjalan tanpa persetujuan dari masyarakat dan pemerintah lokal.

Hal-hal semacam inilah yang perlu menjadi perhatian perusahaan tambang dan pemerintah pusat. Perusahaan tidak seharusnya beroperasi dengan "santainya" di daerah, tanpa berinteraksi dan berkontribusi secara optimal kepada pemerintah daerah dan masyarakat setempat.

Terlepas dari ada atau tidaknya aturan tertulis, secara moral dan etika, perusahaan wajib melakukan pendekatan khusus kepada daerah, sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan etis dari perusahaan yang ingin mengeksploitasi sumber daya alam daerah. Sayangnya, kesadaran akan etika dan tanggung jawab moral semacam itu masih sangat minim di banyak daerah pertambangan.

Sudah saatnya praktik pertambangan di Indonesia ditinjau kembali, dengan fokus pada harmonisasi kepentingan antara perusahaan, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah. Keterbukaan, komunikasi yang efektif, dan komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan adalah kunci untuk menciptakan industri pertambangan yang bertanggung jawab dan memberikan manfaat yang optimal bagi semua pihak.