Dampak Kebijakan Tarif AS: Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Negara Tetangga Indonesia Direvisi Turun
Gelombang Revisi Target Ekonomi di Asia Tenggara Akibat Kebijakan Tarif AS
Gelombang kekhawatiran melanda kawasan Asia Tenggara seiring dengan dampak kebijakan tarif yang diterapkan oleh Amerika Serikat. Sejumlah negara tetangga Indonesia terpaksa merevisi turun target pertumbuhan ekonomi mereka, mengindikasikan bahwa dampak kebijakan perdagangan global mulai terasa.
Malaysia menjadi salah satu negara yang paling cepat merespons situasi ini. Perdana Menteri Anwar Ibrahim mengisyaratkan kemungkinan penyesuaian target pertumbuhan ekonomi Malaysia untuk tahun 2025. Proyeksi awal yang optimis, berkisar antara 4,5 persen hingga 5,5 persen, kini diragukan dapat tercapai. Pemerintah Malaysia tengah mengkaji secara mendalam dampak tarif terhadap perekonomian domestik sebelum mengambil keputusan final. Anwar Ibrahim menekankan bahwa sebagai negara dengan ekonomi terbuka, Malaysia sangat rentan terhadap perubahan kebijakan ekonomi global, terutama dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat.
Tidak hanya Malaysia, Thailand juga mengambil langkah serupa. Kementerian Keuangan Thailand memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi 2025 menjadi 2,1 persen, jauh di bawah proyeksi sebelumnya sebesar 3 persen. Ekspor, yang selama ini menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi Thailand, diperkirakan hanya akan tumbuh 2,3 persen, penurunan signifikan dari perkiraan awal 4,4 persen. Sektor pariwisata, yang juga merupakan tulang punggung perekonomian Thailand, juga mengalami revisi turun. Jumlah wisatawan asing yang diperkirakan datang pada tahun 2025 dipangkas menjadi 36,5 juta orang dari perkiraan sebelumnya 38,5 juta orang. Meskipun demikian, konsumsi domestik Thailand masih menjadi harapan, dengan proyeksi pertumbuhan sebesar 3,2 persen berkat peningkatan daya beli dan pemulihan sektor pariwisata.
Singapura, sebagai salah satu pusat keuangan dan perdagangan utama di Asia Tenggara, juga tidak luput dari dampak kebijakan tarif AS. Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura telah memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi Singapura tahun 2025 menjadi antara nol hingga 2 persen. Beberapa ekonom bahkan memperingatkan potensi terjadinya resesi teknikal di Singapura pada tahun ini. Otoritas Moneter Singapura (MAS) telah mengambil langkah-langkah antisipatif dengan mengurangi laju apresiasi mata uang dolar Singapura sebagai respons terhadap meredanya inflasi dan meningkatnya risiko terhadap pertumbuhan ekonomi. Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi Singapura akan terdampak secara signifikan oleh kebijakan tarif AS, meskipun belum dapat dipastikan apakah negara tersebut akan mengalami resesi atau tidak.
Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura memperingatkan bahwa perang tarif dapat memicu ketidakpastian yang lebih besar dan menyebabkan penurunan aktivitas ekonomi yang lebih dalam dari perkiraan. Perusahaan dan rumah tangga cenderung akan mengambil sikap "tunggu dan lihat" sebelum membuat keputusan investasi dan pengeluaran. Kebijakan tarif juga berpotensi mengganggu rantai pasokan global, meningkatkan biaya, dan menyebabkan perlambatan ekonomi global yang lebih tajam.
Para ekonom di Singapura juga menyampaikan pandangan yang beragam. Song Seng Wun dari CGS International memperingatkan risiko resesi teknikal, sementara Selena Ling dari OCBC Bank mengatakan bahwa belum ada tanda-tanda yang jelas tentang titik terendah ekonomi. Ling memperkirakan bahwa ekonomi Singapura kemungkinan akan mengalami penurunan lebih lanjut pada semester kedua tahun 2025, dan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Singapura tahun 2025 mendekati 1,6 persen jika tarif 10 persen tetap berlaku.
Situasi ini menunjukkan bahwa kebijakan tarif yang diterapkan oleh Amerika Serikat memiliki dampak yang signifikan terhadap perekonomian negara-negara di Asia Tenggara. Meskipun masing-masing negara memiliki strategi dan ketahanan ekonomi yang berbeda, namun perlambatan ekonomi global akibat perang dagang menjadi tantangan yang harus dihadapi bersama.