Pasar Apartemen Jakarta Tertekan: Pengembang Serukan Stimulus Pemerintah Daerah untuk Dongkrak Penjualan

Pasar apartemen di Jakarta menunjukkan tren yang kurang menggembirakan, meskipun insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) telah digulirkan. Kalangan pengembang properti kini menyoroti perlunya stimulus tambahan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) untuk memulihkan gairah sektor ini.

Data dari Colliers Indonesia pada kuartal I-2025 mengindikasikan peluncuran proyek apartemen baru sangat minim. Hal ini berbanding terbalik dengan tingginya jumlah unit apartemen yang belum terjual, mencapai sekitar 27.000 unit. Tingkat penyerapan tercatat sebesar 87,8 persen, dengan 90 persen dari 162 unit yang terjual pada kuartal pertama berasal dari proyek yang sudah ada (existing). Sementara itu, imbal hasil sewa (yield) apartemen dalam tiga tahun terakhir cenderung stagnan di angka 4 persen.

Presiden Direktur Riyadh Group Indonesia, Bally Saputra Datuk Janosati, mengungkapkan kekhawatiran atas lambatnya pertumbuhan penjualan unit apartemen. Kondisi ini, menurutnya, berdampak pada keengganan pengembang untuk memulai proyek apartemen baru.

"Dibutuhkan stimulus yang lebih signifikan dari pemerintah, terutama di Jakarta, agar pasar apartemen kembali bergairah. Insentif PPN DTP memang membantu meningkatkan daya beli konsumen, tetapi itu saja tidak cukup. Perlu adanya keringanan dan kemudahan lainnya agar masyarakat tertarik untuk membeli dan tinggal di apartemen," ujar Bally dalam keterangan tertulisnya.

Bally mengusulkan beberapa langkah konkret yang dapat diambil oleh pemerintah daerah selain PPN DTP, antara lain:

  • Bantuan biaya listrik dan air bersih
  • Penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk unit apartemen di bawah Rp 2 miliar
  • Subsidi Iuran Pemeliharaan Lingkungan (IPL) atau service charge untuk apartemen di bawah Rp 1 miliar

Bally meyakini bahwa Pemprov DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten memiliki kapasitas fiskal yang memadai untuk memberikan subsidi IPL bagi apartemen menengah dan bawah. Ia memberikan ilustrasi, dengan asumsi 200.000 unit apartemen disubsidi maksimal Rp 20.000 per meter persegi atau maksimal Rp 1 juta per unit, maka dibutuhkan alokasi dana APBD sebesar Rp 200 miliar setiap bulan.

Ia menekankan bahwa kebijakan ini tidak perlu bersifat permanen. Sebagai contoh, subsidi dapat diterapkan selama lima tahun, kemudian dikurangi menjadi 50% hingga penghuni merasakan manfaat dan kenyamanan tinggal di apartemen.

"Anggaran untuk subsidi IPL juga tidak terlalu besar. Jika melihat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) Provinsi DKI Jakarta setiap tahunnya mencapai hampir Rp 5 triliun. Bahkan jika dalam lima tahun mendatang ada 5 juta unit apartemen yang dibangun di kota, termasuk di Jabodetabek, dana subsidi IPL yang dibutuhkan hanya sekitar Rp 5 triliun per tahun," jelas Bally, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Badan Pertimbangan Organisasi (BPO) DPP Realestat Indonesia (REI).

Lebih lanjut, terkait program 1 Juta Rumah di Perkotaan, Bally menyatakan bahwa pengembang lokal mampu membangun Program 3 Juta Rumah, termasuk hunian di perkotaan. Namun, ia menekankan pentingnya kesamaan visi dan misi antara pemerintah dan pengembang untuk bersinergi.

"Pengembang lokal bersedia membantu jika pemerintah menyiapkan regulasi yang sehat, termasuk untuk 1 juta unit rumah vertikal di perkotaan. Tetapi jika aturan dan skema tidak jelas, bagaimana pengembang swasta mau berinvestasi?" pungkasnya.