Rentan Pelanggaran, PSU Pilkada Berpotensi Catatkan Peningkatan Kecurangan Signifikan

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti potensi peningkatan drastis pelanggaran dalam pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, mengungkapkan kekhawatiran bahwa praktik kecurangan dapat meningkat hingga empat kali lipat dibandingkan dengan pilkada reguler. Pernyataan ini disampaikan dalam rapat evaluasi pelaksanaan PSU yang melibatkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Rifqinizamy menjelaskan bahwa ruang gerak yang semakin sempit dan kecilnya kemungkinan untuk menantang hasil PSU mendorong oknum tertentu untuk melakukan segala cara demi memenangkan pemilihan. Ia mencontohkan praktik politik uang yang nilainya bisa melonjak signifikan dalam PSU. Jika pada pilkada biasa, politik uang berkisar Rp 300.000 per suara, maka pada PSU nilainya bisa mencapai Rp 5 juta per suara.

Politisi dari Partai NasDem ini juga menyinggung bahwa banyak PSU yang merupakan hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pelanggaran yang bersifat Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Meskipun PSU seharusnya menghilangkan unsur TSM, praktiknya justru membuka celah kecurangan yang lebih besar.

"Dulu MK pernah langsung mendiskualifikasi, belakangan menghadirkan pemungutan suara ulang. Tapi nyatanya, TSM tetap terjadi karena peluang kecurangan semakin besar," ungkap Rifqinizamy.

Selain itu, Rifqinizamy menyoroti pentingnya kepastian hukum dan keadilan dalam penyelesaian sengketa hasil PSU Pilkada. Ia mencontohkan penundaan pelantikan kepala daerah akibat proses PSU yang berulang, sementara masa jabatan tetap berakhir pada waktu yang sama.

"Kepala daerah dilantik Februari 2025, tapi karena PSU bisa jadi dilantik Juli atau bahkan Desember. Akhir masa jabatannya tetap Februari 2030. Kepastian hukumnya ada, tapi keadilannya tidak kita dapat," jelasnya.

Oleh karena itu, Rifqinizamy mendorong perumusan norma hukum baru untuk meminimalkan pelanggaran dalam penyelenggaraan PSU. Ia juga menekankan pentingnya kejelasan hukum acara dalam penanganan sengketa pemilu agar tidak terjadi tumpang tindih lembaga penanganan dan ketidakpastian putusan.

"Kita perlu punya hukum acara sengketa pemilu. Agar satu, semua punya kepastian. Satu obyek sengketa yang sama jangan dibawa ke mana-mana dan keputusannya berbeda-beda," pungkas Rifqinizamy.