Gasifikasi Batu Bara: Antara Hilirisasi dan Dilema Lingkungan

Rencana pemerintah untuk mengubah batu bara menjadi gas Dimetil Eter (DME) melalui proses gasifikasi kembali mencuat, memicu perdebatan mengenai manfaat ekonomi versus dampak lingkungan. Gasifikasi batu bara, yang mengubah batu bara padat menjadi gas yang dapat digunakan sebagai bahan bakar dan bahan baku industri, dipandang sebagai langkah hilirisasi sumber daya alam yang dapat meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menekankan bahwa gasifikasi batu bara adalah bagian dari upaya hilirisasi yang akan memberikan manfaat ekonomi yang signifikan. BPI Danantara disebut-sebut sebagai salah satu investor dalam proyek ini. Hilirisasi sendiri merupakan andalan pemerintahan Joko Widodo dan akan dilanjutkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Keberhasilan hilirisasi nikel, yang meningkatkan nilai ekspor secara signifikan, menjadi contoh yang sering dikutip.

Namun, di balik potensi keuntungan ekonomi, terdapat kekhawatiran serius mengenai dampak lingkungan dari gasifikasi batu bara. Proses ini menghasilkan emisi karbon dioksida (CO2) dan gas-gas rumah kaca lainnya, yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang masih menjadi andalan dalam mengolah dan memproduksi nikel juga menjadi sorotan karena emisi karbon yang dihasilkan.

Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) melaporkan bahwa empat perusahaan nikel di Indonesia menyumbang emisi karbon sebesar 15 juta ton pada tahun 2023. Jika perusahaan-perusahaan ini melakukan ekspansi, emisi karbon diperkirakan akan meningkat menjadi 38,5 juta ton pada tahun 2028. Hal ini menunjukkan bahwa hilirisasi tidak selalu memberikan dampak positif, dan ada harga lingkungan yang harus dibayar.

Gasifikasi batu bara juga dipandang sebagai solusi untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor Liquefied Petroleum Gas (LPG). Indonesia masih mengimpor 6,9 juta ton LPG per tahun, yang menyebabkan devisa negara terkuras hingga Rp 63,5 triliun. Klaim yang sering dilontarkan adalah bahwa gasifikasi batu bara lebih ramah lingkungan dan menguntungkan karena Indonesia memiliki sumber daya batu bara yang melimpah.

Namun, analisis Low Carbon Development Indonesia (LCDI) pada tahun 2022 menunjukkan bahwa proses menghasilkan DME dari batu bara melibatkan beberapa tahap yang menghasilkan gas kotor seperti CO2, CO, dan H2S. Ini berarti bahwa batu bara, meskipun menggunakan kategori kalori rendah, tetap menghasilkan gas rumah kaca.

Rencana gasifikasi batu bara bukanlah hal baru. Wacana ini telah muncul sejak tahun 2016. Pada tanggal 24 Januari 2022, Joko Widodo meresmikan groundbreaking proyek gasifikasi batu bara menjadi DME di Muara Enim, Sumatra Selatan, dengan melibatkan investasi dari Air Products and Chemicals Inc (APCI) dari Amerika Serikat. Namun, proyek ini mengalami kemunduran karena APCI mengundurkan diri, sehingga PT Bukit Asam Tbk harus mencari investor baru.

Kegamangan pemerintah dalam menjalankan transisi dari energi fosil ke energi terbarukan juga menjadi sorotan. Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris sejak tahun 2016, tetapi hingga akhir pemerintahan Jokowi dan DPR periode 2019-2024, Undang-Undang tentang Energi Terbarukan (renewable energy) belum disahkan.

Alih-alih fokus pada energi terbarukan, pemerintah dan DPR malah memasukkan pembahasan mengenai energi baru, termasuk nuklir, hidrogen, gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (coal liquefaction), dan batu bara tergaskan (coal gasification), dalam satu RUU.

Pemerintahan Prabowo Subianto menempatkan DME sebagai proyek terbesar dari 21 proyek hilirisasi tahap awal tahun ini, dengan investasi mencapai Rp 180,36 triliun. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai mengapa Indonesia masih terperangkap dalam komoditas batu bara.

Beberapa faktor yang menyebabkan hal ini adalah pendapatan yang dihasilkan dari eksplorasi batu bara yang besar, cadangan batu bara Indonesia yang masih melimpah, dan permintaan global yang masih tinggi dari negara-negara seperti China dan India.

Pada tahun 2024, Indonesia memproduksi 836 juta ton batu bara, dengan 555 juta ton diekspor. Namun, meskipun volume ekspor meningkat, nilai ekonominya turun 11,9 persen menjadi 30,49 miliar dollar AS. Hal ini mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan eksportir batu bara menjual komoditas tersebut sesuai dengan harga batu bara acuan (HBA).

Cadangan batu bara Indonesia pada tahun 2023 mencapai 31,7 miliar ton, menempatkannya sebagai negara dengan cadangan batu bara terbesar kelima di dunia. Namun, cadangan ini telah terkuras sebesar 8,2 miliar ton dalam lima tahun terakhir akibat pengerukan yang masif.

China, meskipun menjadi pemimpin dalam pengembangan energi terbarukan, masih mengandalkan PLTU batu bara untuk memenuhi 70 persen kebutuhan listriknya. Namun, China telah berjanji untuk mencapai puncak emisi karbon pada tahun ini dan mengurangi konsumsi batu bara mulai tahun 2026.

Jika permintaan dari China menurun, pasar batu bara Indonesia juga akan terpengaruh. Dunia sedang bergerak meninggalkan batu bara secara bertahap, dan Indonesia perlu bersiap menghadapi perubahan ini.

Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) telah mengingatkan bahwa gasifikasi batu bara yang dikerjakan oleh PT Bukit Asam Tbk dan APCI secara ekonomi tidak masuk akal dan dapat merugikan negara hingga 377 juta dolar AS per tahun.

Investasi Danantara dalam proyek gasifikasi batu bara juga menimbulkan pertanyaan. Lebih baik jika Danantara berinvestasi di sektor energi terbarukan, mengingat potensi energi terbarukan Indonesia yang baru dimanfaatkan sebagian kecil.

Bauran energi baru dan terbarukan Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Vietnam, yang telah membuat kemajuan signifikan dalam transisi ke energi terbarukan.