Pakar Hukum Unsoed Soroti Gratifikasi Sebagai Akar Korupsi dalam Sidang Suap Kasus Pembunuhan

Gratifikasi: Sumber Kejahatan Korupsi yang Dianggap Lumrah

Seorang ahli hukum dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hibnu Nugroho, menyoroti praktik gratifikasi sebagai sumber utama tindak pidana korupsi. Hal ini diungkapkan saat dirinya memberikan keterangan sebagai saksi ahli dalam persidangan kasus dugaan suap terkait vonis bebas Gregorius Ronald Tannur. Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Hibnu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Arteria Dahlan, kuasa hukum terdakwa Lisa Rachmat.

"Pengaturan gratifikasi dalam delik tindak pidana korupsi sudah tepat atau belum?" tanya Arteria Dahlan.

Hibnu menjelaskan bahwa Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah dengan tepat mengatur larangan gratifikasi sebagai wujud komitmen untuk memberantas korupsi. Menurutnya, kalangan yang aktif dalam pencegahan korupsi sepakat bahwa gratifikasi merupakan akar dari berbagai tindak pidana korupsi. Pemberian sesuatu kepada pejabat, menurut Hibnu, hampir selalu memiliki maksud tertentu, terutama yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaan penerima. Pemberian ini seringkali ditujukan untuk mempengaruhi tindakan pejabat tersebut agar menguntungkan pihak pemberi.

Gratifikasi dan Jabatan: Hubungan yang Rentan Korupsi

"Pemberian tersebut dilakukan karena jabatan atau pekerjaan untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum, itu adalah tujuan si pemberi," tegas Hibnu.

Pasal 12 B UU Tipikor secara jelas mengatur bahwa delik gratifikasi terjadi ketika pemberian dilakukan karena kapasitas penerima, misalnya karena menduduki jabatan tertentu di lembaga pemerintahan. Hibnu menyayangkan bahwa gratifikasi seringkali dianggap sebagai hal yang biasa, bahkan dianggap sebagai "rezeki anak sholeh" atau "alhamdulillah". Padahal, pandangan semacam ini justru melanggengkan praktik korupsi.

Kasus Suap Vonis Bebas: Gratifikasi dalam Praktik

Dalam kasus yang sedang disidangkan, Zarof didakwa terlibat dalam upaya suap terhadap Hakim Agung Soesilo, yang memimpin majelis kasasi perkara Ronald Tannur. Jaksa penuntut umum mengajukan kasasi setelah Ronald Tannur divonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dalam kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti. Jaksa menduga bahwa Zarof menerima uang sebesar Rp 5 miliar dari Lisa dalam dua tahap, yang bertujuan untuk mempengaruhi putusan kasasi agar menguatkan vonis bebas PN Surabaya.

Selain itu, Zarof juga didakwa menerima gratifikasi senilai Rp 915 miliar dan 51 kilogram emas. Total aset yang mencapai Rp 1 triliun ini ditemukan saat penggeledahan di rumah Zarof di kawasan Senayan, Jakarta Pusat.

Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana gratifikasi dapat menjadi pintu masuk bagi tindak pidana korupsi yang lebih besar.