Profesor Jurnalisme AS Soroti Ekspansi AI di Media Indonesia: Antara Kekaguman dan Kekhawatiran

Janet Steele, seorang profesor jurnalisme dari George Washington University, mengungkapkan pandangannya mengenai implementasi kecerdasan buatan (AI) di media massa Indonesia. Ia melihat fenomena ini sebagai sesuatu yang menarik sekaligus menimbulkan tanda tanya besar. Steele mengakui bahwa media di Indonesia tampaknya lebih berani dalam mengadopsi AI dibandingkan dengan media di Amerika Serikat.

Di Amerika Serikat, menurut Steele, AI umumnya digunakan untuk membantu meringkas laporan-laporan panjang, mencari data historis terkait topik tertentu, serta menghasilkan laporan cuaca dan hasil pertandingan olahraga. Penggunaan semacam ini dianggapnya masih dalam batas wajar dan memberikan manfaat bagi efisiensi kerja jurnalis. Namun, Steele terkejut dengan pesatnya perkembangan penggunaan AI di media massa Indonesia. Ia merasa kesulitan memahami bagaimana AI dapat difungsikan sebagai presenter berita di televisi atau bahkan menjadi pewawancara narasumber di radio. Kehadiran presenter AI, menurutnya, menghadirkan sebuah realitas yang belum pernah ia saksikan sebelumnya.

"Wow presenter AI? Saya belum pernah melihat presenter AI. Apakah seperti orang-orang palsu?" ujarnya.

Setelah melihat contoh presenter AI di salah satu televisi Indonesia, Steele mengungkapkan kekagumannya, namun juga kebingungannya. Ia menilai bahwa Indonesia jauh lebih berani dalam bereksperimen dengan AI. Steele juga menyoroti anggapan umum bahwa media massa harus mengadopsi AI sebagai sebuah keniscayaan. Ia khawatir bahwa penerapan AI yang berlebihan dapat merusak esensi jurnalisme. Steele berharap agar perusahaan platform AI bersedia bertanggung jawab atas dampak negatif yang mungkin timbul. Meski demikian, ia mengakui bahwa AI dapat membantu meringankan tugas-tugas rutin jurnalis, sehingga mereka dapat lebih fokus pada investigasi mendalam.

Steele menekankan bahwa jurnalisme bukan sekadar tentang media. Karya yang dihasilkan sepenuhnya oleh AI, meskipun dipublikasikan oleh media massa, tidak dapat dikategorikan sebagai karya jurnalistik. Fungsi utama seorang jurnalis adalah mengamati peristiwa, mencari informasi, dan memberikan pemahaman yang mendalam tentang kebenaran. Fungsi-fungsi ini tidak dapat digantikan oleh AI. Seorang jurnalis sejati harus turun ke lapangan, menyaksikan langsung kejadian, mewawancarai pihak-pihak terkait, serta merasakan secara langsung suasana di lokasi kejadian. Proses inilah yang kemudian menghasilkan sebuah berita yang bernilai.

Tugas jurnalis bukan hanya sekadar meringkas informasi yang sudah ada di media lain. Tugas ini dapat dengan mudah dilakukan oleh AI. Jika jurnalis hanya duduk di depan laptop dan menulis ulang apa yang sudah ada, maka tidak akan ada lagi kebaruan dalam berita, padahal kebaruan merupakan salah satu elemen penting dalam jurnalisme.

"Kalau fungsi-fungsi jurnalisme itu dilakukan oleh AI. Saya tidak bisa menerima, benar-benar tidak menerima," tegasnya.

Steele menduga bahwa perbedaan kecepatan adopsi AI dalam jurnalisme di Indonesia dan Amerika Serikat berkaitan dengan definisi jurnalisme itu sendiri. Ia berpegang teguh pada konsep jurnalisme naratif, yang mengharuskan reporter untuk terjun langsung ke lapangan dan mengumpulkan data yang detail untuk menghasilkan laporan naratif yang berkualitas. Ia menilai bahwa berita di media massa Indonesia belum sepenuhnya memenuhi standar definisi jurnalisme yang sesungguhnya.

Steele mengkritik praktik umum di kalangan jurnalis Indonesia yang terlalu sering hanya menulis ulang siaran pers dari kementerian atau lembaga, atau pernyataan seorang tokoh, lalu menambahkan sedikit kutipan dari pihak lain dan mempublikasikannya sebagai berita. Ia memperingatkan bahwa praktik jurnalistik semacam ini akan sangat mudah digantikan oleh AI.

"Di Indonesia, terlalu banyak laporan yang hanya mengandalkan ingatan atau pernyataan orang lain. Itu bukan benar-benar jurnalisme," ungkapnya.

Steele meyakini bahwa AI akan menggantikan praktik jurnalisme yang buruk, namun tidak akan mampu menggantikan jurnalisme yang berkualitas. Untuk bertahan di era AI, media harus memperkuat jurnalisme sejati. Sebagai solusi, AI dapat ditugaskan untuk memproses siaran pers dan informasi yang masuk, sementara jurnalis dapat lebih fokus pada liputan lapangan, melakukan investigasi mendalam, dan menghasilkan laporan-laporan yang kuat.

"Mungkin itu solusi terbaik yang bisa saya pikirkan. Saya tidak tahu, tapi itu yang saya pikirkan saat ini," pungkas Steele.