Aksi Solidaritas Perempuan Sumbawa: Desakan Penuntasan Kasus TPPO Pekerja Migran dan Penolakan Program Food Estate
Puluhan aktivis yang tergabung dalam Solidaritas Perempuan (SP) Sumbawa menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Bupati Sumbawa pada Senin (5/5/2025). Aksi ini menyoroti lambatnya penanganan kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang menimpa pekerja migran Indonesia (PMI) asal Sumbawa dan menolak program Food Estate yang dinilai merusak lingkungan.
Koordinator aksi, Hadiatul Hasanah, yang akrab disapa Atul, dalam orasinya mendesak Pemerintah Kabupaten Sumbawa untuk segera mengambil tindakan nyata dalam menyelesaikan kasus enam PMI asal Sumbawa yang menjadi korban TPPO. Menurutnya, pemerintah daerah memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk melindungi warganya yang bekerja di luar negeri. Selain menuntut kejelasan kasus TPPO, SP Sumbawa juga menyoroti kasus-kasus lain yang belum terselesaikan, seperti kasus seorang PMI yang meninggal dunia dan barang-barangnya belum dikembalikan oleh pihak agensi.
"Kami menuntut pemerintah daerah untuk tidak tinggal diam dan segera turun tangan menyelesaikan kasus-kasus TPPO yang menimpa PMI asal Sumbawa. Negara harus hadir untuk melindungi warganya," tegas Atul di sela-sela aksi.
Atul juga menyampaikan keprihatinannya atas kondisi PMI yang rentan menjadi korban TPPO. Ia mengungkapkan bahwa banyak PMI yang mengalami berbagai bentuk eksploitasi, seperti jam kerja yang berlebihan, upah yang tidak dibayarkan, kekerasan fisik dan psikis, hingga pelecehan seksual. SP Sumbawa mendesak pemerintah untuk memperketat pengawasan terhadap perusahaan penyalur tenaga kerja dan memberikan perlindungan yang memadai bagi PMI.
Selain isu TPPO, aksi ini juga mengangkat isu penolakan terhadap program Food Estate yang dinilai akan merusak lingkungan dan memperparah kemiskinan, khususnya bagi kaum perempuan. Atul menjelaskan bahwa program Food Estate berpotensi merampas lahan pertanian masyarakat, menghilangkan sumber penghidupan petani, dan meningkatkan kerentanan terhadap perubahan iklim.
"Program Food Estate ini hanya akan menguntungkan investor besar dan merugikan masyarakat kecil. Kami menolak program ini karena akan merusak lingkungan dan memperparah kemiskinan," tegas Atul.
SP Sumbawa juga menyoroti dampak krisis iklim yang semakin dirasakan di Sumbawa, seperti banjir, longsor, dan gagal panen. Mereka menilai bahwa krisis iklim memperburuk kondisi perempuan, yang seringkali menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dampak bencana alam dan kehilangan sumber penghidupan. Oleh karena itu, SP Sumbawa menuntut pemerintah untuk mengambil langkah-langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang berpihak pada masyarakat rentan.
Dalam aksi tersebut, massa aksi juga menyampaikan penolakan terhadap Undang-Undang TNI yang dinilai berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI dan mengancam demokrasi. Mereka khawatir bahwa UU TNI akan memberikan ruang yang lebih besar bagi militer untuk terlibat dalam urusan sipil dan politik.
"Kami menolak UU TNI karena akan mengancam demokrasi dan kebebasan sipil. Militer tidak boleh terlibat dalam urusan politik dan harus fokus pada tugas pokoknya sebagai penjaga kedaulatan negara," kata Atul.
Aksi demonstrasi ini diikuti oleh berbagai elemen masyarakat sipil, termasuk Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan Barisan Masyarakat Indonesia (BMI). Mereka menyampaikan dukungan terhadap tuntutan SP Sumbawa dan menyerukan kepada pemerintah untuk segera mengambil tindakan nyata.
Menanggapi aksi tersebut, Wakil Bupati Sumbawa, Mohamad Ansori, berjanji akan menindaklanjuti seluruh aspirasi yang disampaikan oleh massa aksi. Ia mengatakan bahwa pemerintah daerah akan berkoordinasi dengan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan Dinas Tenaga Kerja untuk menyelesaikan kasus-kasus TPPO yang menimpa PMI asal Sumbawa. Terkait dengan isu Food Estate, Ansori mengatakan bahwa pemerintah daerah akan mengundang menteri dan dirjen terkait untuk membahas langkah-langkah strategis.