Prajurit TNI AL Jalani Sidang Perdana Kasus Pembunuhan Jurnalis di Banjarbaru
Sidang Perdana Pembunuhan Jurnalis: Dakwaan Terhadap Anggota TNI AL Dibacakan
Kasus pembunuhan tragis seorang jurnalis di Banjarbaru memasuki babak baru dengan digelarnya sidang perdana pada hari Senin (5/5). Jumran, seorang prajurit TNI Angkatan Laut (AL), dihadapkan ke pengadilan atas dakwaan pembunuhan terhadap Juwita, seorang jurnalis yang menjadi korban dalam kasus yang menggemparkan ini. Sidang dipimpin oleh Oditur Militer, Letkol Chk Sunandi, yang membacakan serangkaian dakwaan yang memberatkan terdakwa.
Menurut dakwaan yang dibacakan, terungkap bahwa Jumran dan Juwita pertama kali berkenalan melalui aplikasi media sosial. Interaksi mereka kemudian berlanjut ke percakapan intens melalui aplikasi pesan instan WhatsApp, yang akhirnya menumbuhkan hubungan yang lebih dekat.
"Pertemuan tatap muka pertama kali terjadi di sebuah kafe di wilayah Banjarbaru," ungkap Letkol Chk Sunandi dalam persidangan. Pertemuan tersebut menjadi awal dari serangkaian peristiwa yang berujung pada tragedi. Dalam pertemuan tersebut, Jumran sempat meminta korban untuk melakukan hubungan badan di sebuah hotel.
Hubungan antara Jumran dan Juwita berlanjut seperti biasa setelah kejadian tersebut. Namun, situasi berubah drastis ketika pada Januari 2025, kakak ipar korban mengetahui perbuatan tersebut. Kakak ipar korban lantas menanyakan perihal tersebut kepada Jumran. Merasa panik dan terdesak, Jumran kemudian mendatangi kediaman korban. Di sana, ia diminta untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.
"Ibu dan kakak ipar Jumran kemudian datang dari jauh ke Banjarbaru untuk menyelesaikan masalah ini," lanjut Sunandi.
Setelah melalui perundingan yang alot, kedua belah pihak sepakat untuk melaksanakan pernikahan pada tanggal 11 Mei 2025. Mahar yang disepakati sebesar Rp 50 juta. Namun, di balik kesepakatan tersebut, Jumran merasakan tekanan yang luar biasa dari pihak keluarga korban. Ia merasa terbebani dengan tuntutan dan harapan yang mereka berikan.
Menurut pengakuan Jumran, keluarga korban terus-menerus menghubunginya terkait persiapan pernikahan. Selain itu, ia juga merasa tertekan dengan surat mutasi yang diterimanya pada Februari 2025, yang mengharuskannya pindah tugas ke Balikpapan. Dalam kondisi tertekan, Jumran sempat memiliki niatan untuk meracuni korban, namun ia mengurungkan niatnya karena takut.
Setelah resmi dipindahkan ke Balikpapan, niat untuk membunuh korban kembali menghantui pikiran Jumran. Kali ini, ia bahkan menceritakan rencananya tersebut kepada seorang temannya.
"Jumran merasa dirinya dijebak oleh korban. Temannya menyarankan agar ia menikahi korban saja. Namun, Jumran menolak mentah-mentah saran tersebut karena ia mengaku tidak mencintai korban," jelas Sunandi.
Pada tanggal 22 Maret 2024, Jumran akhirnya melaksanakan rencana jahatnya. Ia memesan tiket bus dari Balikpapan menuju Banjarbaru. Setibanya di Banjarbaru, Jumran menyewa sebuah mobil yang kemudian dijadikan sebagai barang bukti dalam kasus pembunuhan ini.
"Terdakwa mengajak korban bertemu dan meminta korban untuk memarkirkan sepeda motornya di suatu tempat. Kemudian, korban diajak untuk ikut ke dalam mobil yang telah disewa," terang Sunandi.
Setelah bertemu, keduanya sempat berkeliling dan menghabiskan waktu bersama. Kemudian, mereka menuju ke Jalan Trans Gunung Kupang. Di tempat sepi tersebut, Jumran mulai memikirkan cara untuk menghabisi nyawa korban. Ia mencari-cari alasan agar kematian korban terlihat seperti kecelakaan tunggal.
"Di sana, Jumran melihat jalan yang cukup lebar dan terpikir untuk menjadikannya sebagai lokasi kecelakaan tunggal," ujar Sunandi.
Kemudian, pelaku meminta korban untuk berpindah posisi duduk ke jok tengah mobil. Saat Jumran melakukan kuncian pertama terhadap korban, korban melakukan perlawanan sengit.
"Korban sempat bertanya, 'Kamu mau membunuhku kah?'. Namun, pelaku tidak menjawab pertanyaan tersebut dan kembali melakukan kuncian kedua serta mencekik leher korban selama kurang lebih 10 menit hingga kepalanya terbentur pengait sabuk pengaman," papar Sunandi.
Setelah mencekik korban, pelaku memastikan bahwa korban sudah tidak bernapas dengan menempelkan telinganya ke dada korban. Setelah memastikan korban tewas, pelaku langsung merekayasa Tempat Kejadian Perkara (TKP) seolah-olah korban mengalami kecelakaan tunggal.