Transaksi Iris Mata di Bekasi: Antara Kebutuhan Mendesak dan Kurangnya Pemahaman Risiko Privasi

Di tengah hiruk pikuk Kota Bekasi, sebuah fenomena mengkhawatirkan muncul. Bukan transaksi jual beli barang fisik, melainkan perdagangan data biometrik iris mata yang terjadi di sebuah ruko di Jalan Raya Narogong, Rawalumbu. Warga berbondong-bondong mendatangi lokasi tersebut, bukan untuk mencari bantuan atau mengurus keperluan administrasi, tetapi untuk menyerahkan data iris mata mereka dengan imbalan sejumlah uang.

Meri, seorang warga Bekasi, menjadi salah satu pelaku dalam praktik ini. Ia mengetahui informasi tentang pemindaian iris mata dari anaknya dan mendaftar melalui aplikasi World App, bagian dari proyek Worldcoin yang kontroversial. Proses pendaftaran terbilang mudah, tanpa memerlukan KTP atau dokumen identitas resmi. Setelah menjalani pemindaian iris mata menggunakan perangkat Orb, Meri dan anaknya menerima uang tunai.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: Sejauh mana masyarakat memahami risiko yang terkandung dalam menyerahkan data biologis yang unik dan permanen? Apakah desakan ekonomi membuat mereka mengabaikan potensi konsekuensi jangka panjang? Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, mengakui bahwa tren penjualan data iris mata ini cukup marak di kalangan warganya. Imbalan yang berkisar antara Rp 300.000 hingga Rp 800.000 tampaknya menjadi daya tarik yang sulit ditolak, meskipun jumlah tersebut terbilang kecil dibandingkan dengan nilai privasi biologis.

Proyek Worldcoin, yang digagas oleh pendiri ChatGPT, Sam Altman, memang telah menuai kontroversi di berbagai negara. Praktik pemindaian biometrik ini dianggap sebagai bentuk eksploitasi digital, terutama di negara-negara berkembang dengan regulasi privasi yang lemah. Worldcoin mengklaim akan menghapus data biometrik setelah proses verifikasi dan hanya menyimpan kode kriptografis. Namun, rekam jejak proyek ini menunjukkan bahwa janji tersebut tidak selalu ditepati. MIT Technology Review pada tahun 2022 mengungkap bahwa Worldcoin menggunakan taktik menyesatkan di beberapa negara, seperti Kenya dan Chili, dengan menjanjikan hadiah tanpa memberikan penjelasan yang memadai tentang penggunaan data biometrik.

Kontroversi semakin memanas ketika peretas berhasil mencuri kredensial operator Worldcoin dan mengakses informasi internal perusahaan. Insiden ini meruntuhkan klaim keamanan yang selama ini digaungkan oleh Worldcoin. Santiago Siri, pendiri Proof of Humanity, bahkan menyebut Worldcoin sebagai bentuk kolonialisme digital yang menyasar negara-negara berkembang dengan regulasi privasi yang lemah, sementara menghindari negara-negara dengan perlindungan privasi yang lebih ketat seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Kominfo), telah mengambil langkah tegas dengan membekukan sementara izin Worldcoin dan WorldID di Indonesia sejak 5 Mei 2025. Langkah ini diambil sebagai tindakan preventif untuk melindungi masyarakat dari potensi risiko penyalahgunaan data biometrik. Kominfo juga berencana memanggil dua perusahaan lokal, PT Terang Bulan Abadi dan PT Sandina Abadi Nusantara, yang terlibat dalam operasional Worldcoin di Indonesia, karena diduga belum sepenuhnya mematuhi regulasi penyelenggaraan sistem elektronik.

Kasus yang dialami Meri di Bekasi menjadi cerminan betapa rentannya masyarakat terhadap iming-iming uang di tengah kesulitan ekonomi dan kurangnya literasi digital. Ratusan ribu rupiah menjadi godaan yang sulit ditolak, meskipun harus mempertaruhkan identitas biologis yang seharusnya dilindungi. Di tengah berbagai risiko dan kontroversi yang melingkupi Worldcoin, nominal uang yang ditawarkan tampak sangat kecil dibandingkan dengan nilai keamanan data pribadi. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: Siapa yang akan bertanggung jawab jika data iris mata yang telah diserahkan disalahgunakan?