Revisi UU BUMN Batasi Kewenangan KPK dalam Menindak Korupsi?

Revisi UU BUMN Batasi Kewenangan KPK dalam Menindak Korupsi?

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN), yang mulai berlaku pada 24 Februari 2025, memicu perdebatan mengenai potensi pembatasan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menindak dugaan korupsi yang melibatkan direksi BUMN. Pasal 3X Ayat (1) dan Pasal 9G dalam UU tersebut mendefinisikan bahwa organ dan pegawai BUMN, termasuk anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas, bukan lagi termasuk kategori penyelenggara negara. Definisi ini bertentangan dengan Undang-Undang KPK, yang memberikan wewenang kepada lembaga anti rasuah tersebut untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara negara yang terlibat tindak pidana korupsi.

Feri Amsari, pakar hukum tata negara, mengkritik aturan ini sebagai upaya mempersempit ruang gerak KPK dalam mengawasi BUMN, yang menurutnya memiliki potensi besar terjadinya penyimpangan. Ia bahkan menyebutnya sebagai upaya melegalisasi korupsi melalui pasal-pasal yang kontroversial. Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), berpendapat bahwa direksi BUMN seharusnya tetap dikategorikan sebagai penyelenggara negara karena mereka mengelola uang negara yang berasal dari badan usaha yang dipimpinnya, termasuk Penyertaan Modal Negara (PMN) dari APBN. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hibnu Nugroho, juga mempertanyakan arah politik hukum UU BUMN yang baru, yang menurutnya meruntuhkan konsepsi mengenai siapa yang termasuk penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa sepanjang 2016 hingga 2021, terdapat 119 kasus korupsi di lingkungan BUMN dengan 340 orang tersangka. Temuan ICW menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku korupsi berasal dari kalangan pimpinan menengah, pegawai, dan direktur BUMN. Korupsi di BUMN berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, pendapatan negara, dan kesejahteraan masyarakat, serta berpotensi meningkatkan kemiskinan dan menurunkan kualitas pelayanan publik.

Menanggapi polemik ini, Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menyatakan bahwa lembaganya akan mengkaji UU BUMN yang baru untuk menentukan implikasinya terhadap kewenangan KPK. Sementara itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) berpendapat bahwa pihaknya masih memiliki wewenang untuk mengusut direksi BUMN jika terdapat indikasi korupsi, terutama yang melibatkan persekongkolan, permufakatan jahat, atau tipu muslihat yang merugikan keuangan negara. Menteri BUMN Erick Thohir menegaskan bahwa tindakan korupsi akan tetap ditindak secara hukum tanpa memandang status penyelenggara negara. Ia bahkan membuka peluang bagi KPK dan Kejaksaan Agung untuk menempatkan perwakilan di Kementerian BUMN guna membantu pengawasan dan penindakan praktik korupsi.

Berikut adalah poin-poin yang menjadi sorotan:

  • Definisi Penyelenggara Negara: Perbedaan interpretasi mengenai definisi "penyelenggara negara" dalam UU BUMN dan UU KPK menjadi isu sentral.
  • Potensi Pelemahan KPK: Kekhawatiran bahwa revisi UU BUMN dapat melemahkan kewenangan KPK dalam memberantas korupsi di lingkungan BUMN.
  • Dampak Korupsi BUMN: Korupsi di BUMN memiliki dampak luas terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
  • Koordinasi Penegak Hukum: Pentingnya koordinasi antara KPK, Kejaksaan Agung, dan Kementerian BUMN dalam upaya pemberantasan korupsi di BUMN.

UU BUMN yang baru ini memunculkan pertanyaan mendasar mengenai efektivitas pemberantasan korupsi di sektor BUMN dan perlunya harmonisasi peraturan perundang-undangan untuk memastikan tidak ada celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku korupsi.